***
Aku mengecek beberapa ruangan di rumahku, mencari keberadaan ummi dan abah. Aku berniat bertanya kepada abah tentang statusku di keluarga ini sebelum abah berangkat ke sekolah. Tapi sekarang abah pun entah ada dimana.
"Mas!" Abah keluar dari kamarnya, sudah rapi dengan pakaian dan perlengkapan kerjanya.
"Iya, Bah. Abah sudah mau ke sekolah sepagi ini?" tanyaku untuk mencairkan suasana.
"Abah tidak langsung ke sekolah, ada urusan dulu. Kamu tidak akan kemana-mana, kan, Mas? Atau ada pekerjaan?"
"Tidak, Bah."
"Nanti kamu ke toko buku Abah, ya, Mas! Karyawan disana ada yang izin tidak berangkat selama 2 hari, jadi kamu bantu-bantu disana, daripada di rumah sendirian, kan? Kunci motornya ada di meja kamar Abah."
"Memangnya ummi kemana, Bah?"
"Ummi pergi ziarah ke makam walisanga yang dekat-dekat bersama teman guru dan anak-anak TPQ. Mungkin pulangnya besok. Oh iya, kalau mau makan masak sendiri, ya, Mas. Atau beli di warung. Maaf Abah tidak sempat masak. Abah pamit, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Bah."
Aku menyalami dan mencium tangan abah sebelum abah pergi. Yah, sepagi ini aku sudah ditinggal seorang diri di rumah. Parahnya lagi, aku gagal bertanya pada abah. Tapi biarlah, urusan abah jauh lebih penting daripada pertanyaanku yang tidak jelas jawabannya.
***
Pukul 07.00 aku sudah siap berangkat ke toko buku milik abah yang ada di pusat Kota Malang, sekitar 7 km dari rumahku. Aku akan menggunakan motor untuk perjalanan kesana, karena memang hanya tersisa motor dan dua sepeda di rumah ini. Tapi tidak memungkinkan untuk berkendara sepeda menuju pusat kota, pasti butuh waktu dan tenaga banyak. Sementara kepalaku ini terkadang masih tiba-tiba hilang kendali.
Aku mengunci pintu rumah, lalu menuju garasi untuk mengambil motor. Tidak ada yang ku lakukan lagi, langsung saja menyalakan motor dan pergi ke pusat kota. Toko buku akan dibuka pukul 08.00. Jadi, aku bisa sedikit santai memperhatikan bangunan-bangunan yang semakin ke kota semakin mewah.
Aku menurunkan kecepatan motor saat melihat seorang anak kecil duduk sendirian dan menangis di trotoar, tempat pejalan kaki berjalan. Dilihat dari tubuh dan wajahnya, dia berumur lima tahunan. Aku menepikan motor dan turun untuk menghampiri anak itu. "Dek!" panggilku padanya.
Anak itu mendongakkan kepala ke arahku, lalu berdiri. Dia menghentikan tangisnya dan mengusap air matanya dengan tangannya sendiri.
Aku berjongkok supaya dia tidak lagi mendongak. "Adek siapa namanya?" tanyaku.
"Azmi," jawabnya.
"Azmi?" Aku memastikan.
"Iya. Memangnya kenapa kalau namaku Azmi? Apa nama Azmi jelek?"
"Eh, tidak tidak. Namamu bagus, sama seperti namaku. Salam kenal, Azmi." Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Namanya Azmi?"
"Iya. Memangnya kenapa kalau namaku Azmi? Ha ha...." Aku mengikuti gaya bicaranya untuk menjawab. Anak itu kembali menunduk, wajahnya terlihat sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Ficção AdolescenteApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...