***
Hari ini semua ujian sekolah maupun nasional sudah selesai. Rasanya seperti ada beban berat yang telah keluar dari otakku. Tapi aku masih sedikit ragu dengan nilai ujianku nanti. Pasalnya, selama ujian itu aku hanya punya waktu belajar sedikit. Aku lebih sering pulang larut malam sampai tidak sempat belajar malam. Entah mengapa, selama ujian Gus Zidan maupun Gus Zahdan sering kali meminta bermain denganku.
"AKHIRNYAA... Selesai sudah sekolah kita. Ente semua tau? Kemarin-kemarin otak ane ngebulll, terlalu panas buat mikirin ujian, untung ngga sampe rontok rambutnya," kata Jazil.
"Ah, lebay kamu, Ja. Mana yang ngebul?" tanya Syafiq tidak percaya.
"Kan ane bilang kemarin-kemarin, sekarang udah dingin. Gimana sih, Fiq!"
"Dasar halu!"
"Loh loh? Mana ada halu. Otak ane ngebul oleh materi-materi sekolah, mereka beterbangan di dalam otak." Jazil membela diri.
"Itu hanya otakmu, Ja. Materi-materi di dalam otakku mah tertata rapi, ngga beterbangan. Ha ha..." balas Syafiq tak mau kalah. Kami bertiga pun menertawakan ucapan Jazil tadi.
"Betul, Fiq. Sepertinya hanya otak Jazil yang kaya gitu," Azhar menimpali.
"Ah, ngga asik ngomong sama kalian."
"Ja, hari ini kamu ada jadwal ngajar TPQ, kan? Mau aku tinggal?" tanyaku pada Jazil yang masih melipat wajahnya akibat ditertawakan teman-temannya.
"Tunggu dong! Ente jangan ikut-ikut bikin ane emosi."
"Ya cepet wudhu, malah duduk terus."
"Jazil lagi mikirin kata-katanya dan kata-kataku, Mi. Mending tinggal aja, ha ha..." Syafiq tertawa lepas.
"Mi, ente ngga usah membela Syafiq. Ayolah berangkat, ane wudhu di masjid. Bisa-bisa telinga ini lepas kalau terus-terusan denger mereka ngomong." Jazil menarik tanganku dengan paksa untuk segera pergi dari kamar. Sedangkan Azhar dan Syafik malah mengeraskan tawa mereka.
"Sabar, Ja. Orang sabar disayang Allah." Aku menepuk pundak Jazil beberapa kali untuk meredam emosinya.
"EH, JAZIL! AKU CUMA BERCANDA LOH, JANGAN SERIUS DONG. MAAP KHILAF," kata Syafiq sedikit berteriak. Namun Jazil tidak peduli, dia tetap menarik tanganku dan berjalan dengan cepat menuju gedung TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur'an).
***
Malam ini, setelah mujahadah bersama di masjid, aku dan Alvin tidak ada pelajaran malam. Aku memanfaatkan waktu untuk kembali mengajak Alvin berbicara berdua denganku. Aku masih belum bisa melupakan perkataan yang sama antara Alvin dan Ummi, walaupun aku sudah mencoba tidak memikirkan itu lagi. Beberapa kali aku bertanya tapi tidak mendapat jawaban sama sekali, Alvin selalu menghindar. Ada keinginan untuk bertanya kepada abah, tapi aku selalu merasa ragu saat sudah mulai berbicara dengan abah.
Aku mengajak Alvin ke tempat yang sama seperti beberapa hari lalu, di dekat masjid. Sebenarnya Alvin tidak mau, tapi aku memaksanya.
"Mas, lo mau ngapain malem-malem duduk disini? Ngga bisa besok apa? Jangan-jangan lo mau tanya-tanya lagi sama gue, ya, Mas? Sumpah gue ngga tau apa-apa, Mas," Alvin terus bercuap-cuap sementara aku masih diam mendengarkan.
![](https://img.wattpad.com/cover/240897965-288-k182495.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...