"Janganlah engkau mengucapkan perkataan yang engkau sendiri tak suka mendengarnya jika orang lain mengucapkannya kepadamu."
--• Ali bin Abi Thalib •--
***
Waktu libur pesantren telah habis. Hari ini saatnya aku kembali memperbudak pada ilmu dan guru di pesantren. Keberangkatanku kali ini berbeda. Abah dan ummi tidak hanya akan mengantarku, tapi juga mengantar Alvin untuk menuntut ilmu di Pondok Pesantren Darussalam, sesuai dengan apa yang abah ucapkan sekitar 8 hari lalu, Alvin harus masuk pesantren hari ini juga, tidak perlu menunggu kenaikan kelas. Sepertinya abah sudah terlanjur kecewa dengan kenakalan Alvin kemarin. Aku paham, tentu saja abah tidak ingin Alvin salah pergaulan.
Aku bersama Alvin memasukkan segala keperluan yang akan dibawa ke pesantren. Sebenarnya, barang milikku hanya sedikit. Barang-barang Alvin yang sangat banyak.
TIT!...
TIT!..Refleks aku menoleh ke pintu gerbang karena suara itu tidak asing lagi. Benar saja, itu suara klakson motor yang ada di depan pintu gerbang rumah. Aku segera mendekat untuk membuka pintu gerbang yang masih tertutup sejak pagi. Ada tiga pemuda yang menaiki motor. Pemuda dengan tubuh tinggi dan sedikit hitam, pemuda berambut keriting, satu lagi pemuda dengan tahi lalat di bibir. Aku merasa tidak asing lagi pada tiga pemuda yang ada di hadapanku ini. Tapi aku tidak mau ambil pusing memikirkan siapa mereka.
"Sepertinya saya pernah melihat kalian. Siapa kalian?" Aku bertanya sebelum mempersilahkan mereka masuk.
"Gue temannya Alvin. Gue tau lo kakaknya. Dimana Alvin?" tanya salah seorang dari mereka.
"Maaf, Alvin akan berangkat ke pesantren hari ini. Kalian tidak bisa mengajak Alvin tawuran lagi." Aku menolak mereka menemui Alvin, karena aku berpikir mereka akan mengajak Alvin pergi dari rumah.
"Gue tau dia mau ke pesantren. Gue cuma mau ketemu sebentar ngga boleh? Pelit amat lo jadi orang. Gue juga ngga akan bikin dia celaka."
Astaghfirullah. Aku telah su'uzon pada mereka. Batinku.
"Hei!" Tiba-tiba Alvin sudah berdiri di sampingku, entah jatuh darimana. Mereka melakukan kode pertemuan khas mereka. Aku hanya memperhatikannya tanpa berkomentar.
"Lo pake ginian? Sarung? Peci? Koko? Wih... Canggih, bro! Ha ha ha...." Pemuda berambut keriting itu meledek.
"Diam lah! Aku juga terpaksa pake ginian kali," kata Alvin.
"Tapi, lo pantes juga pake ginian. Mirip kakak lo," kata pemuda berambut keriting itu dengan melihat lihat Alvin yang berpakaian khas santri.
"Baiklah. Ayo masuk!" Aku berjalan menuju rumah dan mereka mengekoriku berurutan, persis seperti kereta. Aku mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu, lalu masuk ke dapur untuk menyiapkan kudapan untuk mereka.
"Siapa yang datang, Mas?" tanya abah yang entah darimana sudah berada di sampingku.
"Temannya Alvin, Bah."
"Ooh. Ayo Abah bantu bawa!" Abah menawarkan bantuan padaku.
"Tidak perlu, Bah. Azmi bisa."
"Ya sudah, ayo!"
Abah berjalan di depanku, sedangkan aku berjalan di belakangnya sambil membawa nampan. Saat aku dan abah sampai di ruang tamu, Alvin dan teman-temannya langsung terdiam dari percakapannya.
"Silahkan dilanjut saja," kata abah.
"Iya, Pak." Mereka menyalami abah. Walaupun perkataan mereka terkadang hanya asal berbunyi, setidaknya mereka masih punya sopan santun pada abah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...