***
Aku berjalan cepat menuju kamarku dengan hati berbunga-bunga, begitu juga dengan teman-temanku. Mereka malah terus berbicara tak ada hentinya di sepanjang perjalanan menuju kamar, padahal suasana sudah sangat sepi hingga mudah sekali santri lain mendengar pembicaraan mereka. Aku berjalan paling depan dengan pandangan lurus ke depan dan senyum lebar.
"Astaghfirullah." Seekor kucing mengejutkanku. Kulit kakiku baru saja menyentuh bulunya. "Fuhh... Kucing ini merusak suasana."
"Ha ha... ente kaget, Mi? Itu kan cuma kucing," ledek Jazil dengan tawanya. Yang lebih menyebalkan, Azhar dan Syafiq juga ikut tertawa dengan ledekan Jazil untukku.
"Namanya juga manusia, salah satu cirinya kan peka terhadap rangsang. Tiba-tiba aku nyenggol kucing yang bulunya tebal, aku kaget lah. Aku masih normal dong. Kalau ngga kaget berarti ngga peka!" balasku.
"Yee, biasa aja kali, Mi. Orang cuma bercanda juga."
Aku melanjutkan berjalan. Suasana malam ini sangat mendukung seseorang mudah terkejut hanya karena hal-hal kecil, seperti keberadaan seekor kucing tadi. Aku sama sekali tidak melihat orang selain kami di luar. Memang sekarang bukan saatnya berkeliaran, sudah pukul 23.00. Ya. Aku baru bisa pulang ke kamar tengah malam. Aku baru saja mengikuti rapat santri kelas atas bersama kyai serta ustadz dan ustadzah.
Rapat tadi berhasil membuat kesepakatan sangat bagus. Seluruh santri maupun guru akan melaksanakan tour religi atau bisa juga disebut ziarah ke beberapa makam para 'alim ulama di sekitar Jawa Timur. Antara santri putra dan putri tidak dilaksanakan bersama karena akan terlalu banyak jika dilakukan bersama. Santri putra akan berangkat lebih dulu, yaitu 3 hari lagi. Bagaimana mungkin kami tidak senang dengan rencana ini? Kami bisa keliling provinsi sambil mencari keberkahan para 'alim ulama yang sudah wafat. Kegiatan ini sudah biasa dilakukan setiap setahun sekali.
Tidak berselang lama, kami sudah bisa merebahkan diri di tampat tidur. Acara duduk tadi membuat punggung dan pantat sedikit pegal.
"Mi!" panggil tiga temanku bersamaan.
"Kompak banget kalian panggil aku. Sudah diancang-ancang, ya? Ha ha..." Aku terkekeh.
"Jangan terlalu percaya diri deh, Mi. Cuma pas bareng aja," Azhar.
"Iya iyaaa, sudah lupakan itu! Kalian mau ngomong apa? Buruan! Aku ngantuk," perintahku.
"Tour religi kali ini kita naik motor aja gimana?" tanya Jazil.
"Kamu serius?" Aku memastikan.
"Serius lah. Gimana, Zhar? Fiq?"
"Tapi kan kita ngga punya motor, Ja. Masa iya kita harus pulang ke rumah ambil motor?"
"Iya, aku ada niatan pulang dulu ambil motor. Masalahnya, kalau naik bus sempit, Mi. Aku juga lagi pengin jalan-jalan naik motor, kita juga gampang kalau mau cari-cari barang yang kurang," jelas Jazil. Dia menatapku dengan tatapan pengharapan.
"Oke, aku setuju," jawab Azhar.
"Aku juga setuju. Tapi emang boleh kita ngga ikut rombongan naik bus?" tanya Syafiq.
"Insyaa Allah boleh lah, nanti ane yang minta izin," kata Jazil dengan ringannya.
"Kalian enak kalau mau pulang, kalian kan orang Surabaya. Aku? Harus pulang ke Malang? Jauh, Ja," protesku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...