***
Berbenturan dengan lantai membuatku terbangun dari tidur. Aku mengelus pinggangku yang terbentur meja. Aku memandang sekeliling. Ini bukan kamarku, tapi ruang tamu. Ternyata aku ketiduran di sofa setelah sholat subuh dan membaca Al-Qur'an tadi. Aku terjatuh dari atas sofa.
Aku segera berdiri dan kembali merebahkan diri di sofa. Cuaca pagi ini membuatku kembali mengantuk. Suhu masih dingin sekali, apalagi untukku yang dua hari terakhir lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Sejauh-jauhnya aku keluar rumah, hanya sampai masjid.
Dua hari sejak pulang dari pesantren, tubuhku memang kurang vit. Rasanya lemas. Hampir semua makanan yang aku makan, pasti dikeluarkan lagi dari perutku. Bahkan beberapa makanan yang aku suka pun tidak diterima di perutku. Entah apa maunya perutku ini, sampai berat badanku sudah turun tiga kilogram sejak beberapa minggu lalu tidak menimbang.
"Mas!" panggil abah dari ambang pintu yang menuju ke dalam.
Aku menoleh dengan cepat tanpa menjawab.
"Ayo makan!"
"Percuma makan kalau nanti keluar lagi, Bah. Nanti saja," jawabku.
"Setidaknya kamu usaha. Memang kamu mau sakit terus? Walaupun makanannya keluar, pasti ada yang tertinggal, daripada ngga makan sekali. Cepat ke meja makan!" perintah abah dengan tegas.
"Iya, Bah. Nanti Azmi nyusul."
"Sekarang, Maaas!" ucap abah dengan lembut namun ditekan.
"Iya, Bah," jawabku lagi.
Abah sudah berlalu dari ambang pintu, aku pun menyusulnya ke meja makan. Makanan sudah tertata rapi disana, menggugah seleraku agar segera memakan semua makanan itu.
"Berdo'a dulu, Mas. Semoga makanannya ngga sia-sia lagi," kata ummi.
Aku melakukan apa yang ummi katakan.
"Mas, mau ke dokter lagi?" tanya abah.
"Ngga usah, Bah. Obat yang dua hari lalu juga belum habis diminum."
"Tapi kamu masih sering muntah, Mas. Kasihan perutnya ngga diisi, nanti bisa lecet. Nanti hanya cek saja, bukan beli obat lagi. Kita ke dokter sebelum abah berangkat ke sekolah nanti."
"Ngga usah, Bah. Ini udah mendingan."
"Mas–"
"Bah, percaya sama Azmi! Makanan ini nanti ngga akan keluar lagi, nanti siang juga sembuh."
"Terserah kamu lah, Bas. Bukan abah yang sakit. Abah capek kalau mengajakmu ke dokter," kata abah.
Aku tersenyum lebar.
"Kamu masih ingin kuliah di Al-Azhar, Mas?" tanya ummi hingga membuatku mematung sesaat.
"Kalau ditanya keinginan, tentu saja Azmi masih ingin. Tapi kalau memang ngga bisa, insyaa allah sekarang Azmi ikhlas," jawabku.
"Kalau tidak kuliah disana, kamu mau ngapain setelah ini, Mas?"
"Azmi juga belum tau. Mungkin kuliah di Darussalam aja, Ummi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Novela JuvenilApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...