Chapter 31 - Untuk Terakhir Kali

157 24 116
                                    

***

1 Bulan Kemudian

Aku memperhatikan dua adik kecilku yang berlarian kesana-kemari sembari menyebar gelembung-gelembung balon dari air sabun. Entah mereka merasakan dingin atau tidak berlarian di halaman rumah malam-malam seperti ini. Aku duduk di teras depan rumah, menyender pada tiang, memangku laptop sambil sesekali menoleh kepada Zidan dan Zahdan. Satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Bergitu peribahasanya. Dalam satu waktu, aku bisa mengurus proposal pendaftaran Universitas Al-Azhar dan menjaga adik-adikku.

Satu jam berada disini, udara semakin menusuk tulang. Tanpa jaket, tanpa alas kaki, tanpa peci, tanpa makanan, tanpa minuman hangat, dan tanpa pendamping duduk.

"Mas Azmi, airnya habiiiiss... Tadi tumpah sedikit," rengek Zahdan seraya menatapku.

"Punya aku masih." Zidan menunjukkan botolnya yang masih berisi air sabun kepada Zahdan.

"Zahdan minta!" kata Zahdan.

"Ngga boleh! Salah siapa airnya ditumpahin." Zidan menjauh dari adiknya.

"Zahdan ngga sengaja numpahin, Mas. Mintaaaa...!" Zahdan mulai menangis dan mengejar-ngejar Zidan untuk meminta air itu untuk bahan membuat gelembung-gelembung.

"Ngga boleh!"

"Minta!"

Jika sudah seperti ini, aku harus turun tangan untuk menyelesaikannya. Aku meletakkan laptop tetap di tempatku duduk, lalu berjalan mendekati mereka dengan perlahan. Satu bulan berlalu, luka di kaki kananku sudah kering, dan luka kering itu sudah mulai mengelupas, tapi tetap saja masih sedikit memar.

"Dek, sini ke Mas Azmi!" panggilku selembut-lembutnya. Mereka berdua langsung berdiri di hadapanku. Aku segera berjongkok dengan kaki kanan diluruskan. "Kan abah sama umma udah sering bilang, kita harus suka berbagi, apalagi dengan saudara. Gini, Dek Zahdan kan ngga sengaja menumpahkan airnya, jadi habis duluan. Mas Zidan, walaupun itu punya kamu, pasti ngga seru kalau mainnya sendirian. Dek Zahdan dikasih sedikit, ya! Biar nanti bisa main sama-sama lagi."

"Tapi punya Zidan juga tinggal sedikit," protes Zidan.

"Ngga papa. Dek Zahdan dikasih sedikit, dia kan adek kamu. Besok bisa beli lagi. Mas Azmi belikan besok. Ya! Kasih sedikit sama Dek Zahdan, ya..." Aku berusaha memberi pengertian kepada Zidan.

Akhirnya Zidan mengangguk mantap. Aku pun membagi air itu menjadi dua bagian untuk mereka.

"Kalian belum capek? Udah malem loh."

"Sebentar lagi, Mas."

"Ya udah, sebentar aja, ya."

"Iya, Mas."

Sebelum aku kembali ke tempat semula, langkahku terhenti oleh seorang laki-laki paruh baya yang sedang berjalan menuju rumah ini. Dia berjalan lumayan cepat sehingga cepat sampai di halaman rumah.

"Mas, abahnya ada?" tanya laki-laki itu.

"Ada, Pak. Silahkan masuk aja!"

"Terima kasih, Mas. Permisi."

"Iya, Pak."

Hanya seperti itu. Aku kembali duduk di teras rumah, menyelesaikan pekerjaanku. Harusnya aku sudah berangkat ke Jakarta sejak lima hari lalu, tapi apa dayaku abah belum mengizinkanku pergi.

"Mas!" panggil abah yang sudah berdiri di sampingku.

"Eh, iya, Bah?" Aku mendongak ke atas, menatap wajah abah.

"Ayo masuk! Tukang urutnya sudah datang," kata abah dengan santai. Tapi tidak denganku.

"Tukang urut? Orang yang baru datang, Bah?" Aku memastikan.

Because I'm Santri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang