Chapter 33 - Tempat Hidup Baru

121 24 6
                                    

***

Pukul 20.30, aku selesai membereskan barang-barangku di kamar. Aku sudah melihat setiap sudut kamarku. Kamar ini cukup nyaman bagiku, fasilitasnya bagus. Aku tidak perlu membawa terlalu banyak barang untuk tinggal disini. Dalam satu nomor kamar, terdapat kamar tempat tidur, kamar mandi, sisanya dapur dan ruang serba guna. Sayangnya, kamar ini tidak difasilitasi Al-Qur'an satu pun. Sedangkan aku pun lupa membawa Al-Qur'an. Ini berarti aku harus membelinya besok. Aku mengerti, tidak semua yang menyewa kamar ini adalah orang islam.

Aku melepas jas yang kupakai, menggantungnya di gantungan baju, lalu melenggang keluar. Aku memandang sekeliling kos-kosan dari lantai dua. Sangat terang dan berwarna. Begitu tanggapan pertamaku. Kos-kosan putra membentuk huruf U dengan taman persegi panjang di tengah-tengahnya. Di tengah taman, terdapat air mancur yang cukup tinggi. Tidak sampai disitu, masih banyak lagi yang membuat kos-kosan ini nyaman. Terlalu lama untuk diceritakan. Senyumku mengembang melihat ini semua. Mereka memang selalu memberikan yang terbaik untukku. Dengan waktu kurang dari dua bulan di tempat ini, pasti akan ada banyak hal yang bisa kuceritakan suatu saat. Kepada siapa saja.

Aku memutuskan turun dari lantai dua. Rasanya ingin mengenal mereka-mereka yang sedang mengobrol santai di bawah sana. Aku mendekati mereka di tengah taman dengan alas rumput jepang yang lebat dan merata di seluruh taman. Dengan ditumbuhi rumput jepang, siapapun bisa duduk ataupun rebahan dengan mudah, karena rumput ini bersih dan sempurna menutup tanah.

"Assalamu'alaikum," ucapku.

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.

"Boleh gabung?" tanyaku.

"Silahkan!"

"Orang baru, ya, Mas?" tanya seseorang.

"Iya. Saya Azmi."

"Saya Reyhan, panggil saja Rey. Saya ada di kamar nomor 17, bersebelahan denganmu," balas pemuda itu. Dia memiliki kulit putih dan tubuh tinggi. Jika berdiri, mungkin dia lebih tinggi dariku.

"Bagaimana bisa tau bersebelahan?" tanyaku.

"Bukankah kamu sempat tanya letak kamar nomor 18?" Dia balik bertanya padaku.

"He he... Maaf, lupa." Aku terkekeh.

"Saya Gaza, kamar nomor 6 di bawah," ucap seseorang memperkenalkan diri. Begitu juga mereka-mereka yang lain.

"Mi, kamu mau sekolah? Kuliah? Atau kerja?" tanya Gaza.

"Dari tampangnya, sepertinya belum kerja. Masih wajah-wajah bocah. Tapi ngga salah juga kalau dia sudah kerja," timpal yang lain.

"Aku mau ikut pemantapan Bahasa Arab buat masuk Universitas Al-Azhar Mesir. Apa ada yang sama?"

"Ooh, kalau itu banyak temannya, Mi. Tapi kenapa kamu baru datang? Atau kamu hanya mau ikut kelas-kelas atas?"

"Ya, begitulah. Aku tidak bisa ikut sejak awal karena aku sempat kecelakaan sebelum hari keberangkatan. Aku ngga bisa jalan seperti biasa. Jadi, baru dibolehkan setelah sembuh. Alhamdulillah untuk dasar-dasarnya insyaa allah saya cukup paham," aku menjelaskan.

"Kecelakaan bagaimana, Mi? Berbagi cerita, dong! Daripada menceritakan hal-hal konyol, kan orangnya jadi ikut konyol. Ha ha ha...." canda Reyhan.

"Waktu itu, aku diajak pergi bareng kakakku. Di jalan, tiba-tiba ada mobil nabrak. Ngga tau apa sebabnya. Kepalaku dan dia terbentur sampai pendarahan, dan kaki aku terjepit perangkat mobil, aku juga ngga bisa narik sendiri. Ngga tau siapa yang nolong, sadar-sadar udah di rumah sakit. Aku ngga bisa jalan normal lebih dari satu bulan."

"Innalillahi... Berarti sekarang udah ngga ada apa-apa, kan?"

"Alhamdulillah. Tinggal bekasnya sedikit."

Because I'm Santri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang