***
Dua mataku fokus menatap layar laptop. Aku masih memantau perkembangan akun pendaftaranku ke Universitas Al-Azhar. Selain itu, aku juga harus melengkapi laptop ini dengan berbagai data dan aplikasi. Abah membelikan laptop yang benar-benar masih baru untukku. Jadi, aku perlu mengisi laptop ini dengan berbagai hal. Beruntungnya, aku pernah belajar menangani laptop dengan abah dan sejak MTs pun sudah belajar dengan satu benda bernama komputer yang tak jauh berbeda dengan laptop.
"Mas!"
Aku berbalik badan. Seperti dugaanku, ummi lah yang memanggilku. Ummi membawa sepiring nasi beserta perangkatnya dan segelas air putih.
"Iya, Ummi?"
Ummi meletakkan yang dibawanya di mejaku. "Makan dulu, Mas! Sudah jam dua kok belum makan siang."
"Iya, Ummi. Terima kasih. Nanti dimakan."
"Belum selesai juga? Apa ngga bisa dilanjutkan nanti, Mas? Harusnya kamu makan bersama Ummi tadi."
"Belum, Ummi."
"Istirahatlah sebentar, Mas. Duduk dan berpikir juga butuh tenaga. Pokoknya tidak boleh ada yang tersisa di piring dan gelas itu. Makan sekarang, Mas! Tutup dulu laptopnya!" Ummi menutup laptopku dengan pelan, lalu menggeser piring ke hadapanku.
"Terima kasih, Ummi cantik."
"Jalan lupa cuci piring setelah makan!"
"Iya, Ummi."
"Jangan lama!"
"Iya, Ummi. Azmi ngerti," jawabku dengan senyuman yang dimanis-maniskan.
Ummi melenggang keluar dari kamarku, menyisakanku seorang diri disini.
Tiba-tiba, handphoneku bergetar panjang, menandakan ada panggilan masuk. Ibu panti meneleponku.
Apa ada kabar untukku?
Aku menerima panggilan itu. "Assalamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaikumsalam. Mas, Ibu mau memberitahu kalau ada seorang laki-laki muda yang ingin bertemu denganmu. Dia bilang juga dulu kehilangan seseorang di waktu yang sama, ciri-cirinya juga dia bilang mirip. Ibu sudah menyuruhnya datang ke panti asuhan untuk lebih jelasnya. Nanti juga Ibu akan memberikan alamat dan nomor handphone kamu, ya."
"Iya, Bu. Terima kasih banyak, ya, Bu."
"Sama-sama. Harusnya Ibu beritahu tadi pagi, tapi Ibu lupa."
"Tidak apa-apa, Bu. Saya ke panti asuhan juga atau tidak perlu?"
"Saya sarankan kamu ke sini saja siang ini. Orang itu juga akan datang siang ini katanya."
"Iya, Bu. Sebentar lagi saya datang."
"Hati-hati, ya!"
"Iya, Bu. Terima kasih sekali lagi."
"Semoga saja dia benar-benar keluargamu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Siapa laki-laki itu? Apa dia ayahku? Ayahku masih muda? Semuda apa? Padahal aku sudah berusia 17 tahun. Ya Allah, andai dia benar-benar ayah kandungku, izinkan aku untuk memeluk dan berbakti kepadanya. Dan jaga hati keluargaku sekarang, semoga mereka mengizinkanku memeluk ayahku. Ucapku dalam hati.
Aku menghabiskan makanan ini terlebih dahulu, atau ummi tidak akan mengizinkan aku keluar.
"Mas, belum dimakan juga?" Ummi sudah berdiri di ambang pintu kamarku sembari menatapku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Fiksi RemajaApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...