***
Aku membuka mata, memperhatikan sekeliling ruangan. Ruangan ini bercat putih, pintu dan dinding di depanku berbahan kaca, ada Jazil di sampingku yang tertidur di kursi. Aku melihat tubuhku. Aku terbaring dan ada infus di tanganku.
Infus? Rumah sakit?
"Ngapain ke rumah sakit, ah, pake diinfus lagi." Aku mengomel sendiri. "Jazil! Hey! Ja!" Aku menepuk-nepuk bahu Jazil beberapa kali sampai terbangun dari tidurnya.
"Eh, Mi, ente udah bangun, ya? Alhamdulillah," katanya.
"Ngapain bawa aku kesini?" tanyaku.
"Ya kan ente pingsan tadi, Mi. Ngga ingat? Jangan-jangan ente amnesia."
Aku memukul pelan lengan Jazil. "Sembarangan kalau ngomong. Iya aku ingat, tapi ngga perlu ke rumah sakit juga kali. Tiduran aja udah cukup."
"Abah Hasyim yang nyuruh, Azmii... Bersyukur sedikit napa, udah dikasih yang baik juga pakai ngomel."
"Tapi kan merepotkan, Jaziil... Terus ngapain pake diinfus juga? Kaya orang kenapa-napa."
"Lah emang ente lagi kenapa-napa, Mi. Buktinya ente sendiri ngga kuat, jadinya pingsan."
"Huh... Iya iya, terus dokter ngomong apa?"
"Dehidrasi. Tau dehidrasi? Dehidrasi itu kurang cairan. Tau kurang cairan? Kurang cairan itu... Pokoknya ente harus mengonsumsi banyak cairan. Tau cara mengonsumsi cairan? Minum yang banyak. Nah karena ente ngga sadar, jadilah diinfus. Tau–"
"Iya iya, aku tau. Cukup cukup! Sekarang kita pulang."
"Iya. Ane ikut antar ente ke rumah ya, Mi. Biar jalan-jalan gitu, ha ha...." katanya.
"Ke rumah?"
"Iya. Ente disuruh istirahat aja di rumah, lagian sekolahnya libur. Nanti jadwal ngajar TPQ diganti ane. Ngga usah khawatir, ada supirnya Abah Hasyim yang ngantar, dia lagi ambil barang-barang ente yang biasa dibawa pulang. Sebentar lagi juga sampai."
"Aku ngga pa–"
"Ente ngga akan menolak perintah Abah Hasyim, kan? Nurut aja lah, Mi. Kalau ane disuruh pulang juga ane mau banget, masa ente ngga suka. Mau ketemu ummi abah lagi. Aduh, Azmiiii... Itu nikmat, Azmi! Nikmat! Paham?"
"Kamu jadi cerewet banget si, Ja? Kaya cewek."
"Ya ampun, ini anak dibilangin malah ane yang dibilang kaya cewek. Ya udahlah ane duluan." Jazil langsung berjalan menuju pintu ruangan ini.
"Eh iya iya maaf, Ja. Tunggu dong!" Aku melepas infus dengan kasar, lalu beranjak dari tempat berbaring dengan cepat, dan buru-buru mengejar Jazil yang sudah hampir sampai di pintu.
Setelah sampai di pintu, Jazil berbalik badan dan menghadapku. Dia menatapku tanpa berbicara dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku pun berhenti persis di depannya, menatap dirinya dan diriku bergantian. "Ada apa si, Ja? Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku.
"Sandalnya mau ditinggal? Atau memang ingin nyeker kaya ayam?"
Aku menoleh ke belakang, tepatnya ke arah sekitar ranjang. Benar. Ada alas kaki ku disana, hampir saja tertinggal.
![](https://img.wattpad.com/cover/240897965-288-k182495.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...