***
"Azmi! Bangun, Nak!" Seperti ada seseorang yang mencoba membangunkanku dan menepuk-nepuk lenganku. Tapi rasanya mataku sangat sulit untuk membuka.
"Azmi!" panggilnya sekali lagi. Suara itu terdengar seperti suara laki-laki. Apa dia abah?
Aku memaksa membuka mata. Aku memperhatikan orang di sampingku. Bukan. Dia bukan abah. Aku baru ingat lagi, aku masih berada di tanah orang lain, di rumah dokter.
"Sudah azan subuh, Nak. Mau ikut ke masjid atau tetap disini?" tanyanya.
Astaghfirullahal'adzim, bagimana bisa aku terlambat bangun, bahkan sampai azan subuh aku tidak mendengarnya, padahal di pesantren setiap hari dituntut untuk bangun waktu tahajud. Batinku.
"Azmi!" panggilnya lagi karena aku belum merespon pertanyaannya. "Saya tidak memaksa. Kalau mau sholat disini juga tidak apa-apa."
Aku tersadar dari lamunan, "Eh, iya, Dok. Saya ikut ke masjid."
"Masih pagi jangan melamun, cepat ke kamar mandi dan cuci mukanya. Tayamum saja karena perbannya bisa rusak kalau terkena air, bisa juga nanti luka luarnya perih. Ini pakaian untuk sholat ada di meja, nanti dipakai, ya! Memang tidak baru, tapi masih bagus dan belum pernah dipakai."
"Iya, Dok. Terima kasih."
"Saya tunggu di depan, ya."
"Iya, Dok."
Aku beranjak dari tempat tidur dan segera berjalan cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan sisa tidur. Kamar mandi ini tentu sangat bersih. Bagaimana tidak? Lingkungan sekitar seorang dokter pasti terjaga kebersihannya.
Aku kembali ke kamar dengan berlari-lari kecil supaya cepat sampai. Aku mengganti pakaian tebal yang aku pakai dengan baju koko, sarung, dan peci yang sudah disiapkan dokter tadi. Koko ini memang terbilang tidak baru, tapi masih terlihat seperti pakaian baru. Baju yang aku pakai tadi juga pemberian dari dokter. Entah sudah dikemanakan pakaian dan barang-barang yang kubawa. Mungkin semua barangku sudah hanyut, termasuk handphone milik Alvin.
Aku keluar dengan cepat, takut tertinggal sholat jamaah di masjid. Dokter masih menunggu di kursi teras depan rumah.
"Wah, ternyata bajunya pas. Itu baju dibeli beberapa bulan lalu, tapi ternyata kekecilan, jadi belum pernah dipakai. Alhamdulillah bagus dipakai kamu."
"Iya, Dok."
"Ayo berangkat!"
Dokter berjalan mendahuluiku beberapa langkah, sedangkan aku masih di ujung teras, bingung harus berjalan bagaimana karena tidak ada alas kaki yang tersisa.
"Loh? Kok berhenti?" tanya dokter.
"Emm–"
Belum sempat mengatakan sebabnya, gumamanku terpotong. "Oh iya saya lupa, itu sandalnya ada di rak sebelah kursi, di pojok. Pakai yang mana saja." Dokter menunjuk sebuah rak sepatu yang terisi beberapa sepatu dan sandal.
Aku mendekati rak tersebut, lalu asal mengambil sepasang sandal yang tertata rapi di sana. Yang terambil oleh tanganku adalah sepasang sandal kulit berwarna coklat, karena menurutku itu sandal laki-laki yang berukuran paling kecil diantara sandal-sandal lain. Tapi tetap saja sandal ini masih sisa di kaki ku, sepertinya orang laki-laki di rumah ini memang hanya dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...