***
Aku tidak menyesal terlahir menjadi anak sulung, apalagi harus menyalahkan kodrat Allah yang sudah ditetetapkan untukku. Hanya saja terkadang aku merasa membutuhkan seorang kakak sebagai tempat bersandarku dan sebagai salah satu penyemangat saat hati ini mulai resah akan kehidupan ini. Tapi realitanya, akulah yang berada di posisi seorang kakak, dimana aku diharuskan turut membimbing adikku. Semua itu tidak semudah mengedipkan mata. Apalagi kenakalan Alvin yang terkadang berimbas padaku.
Sepertinya saat ini aku sedang berada di fase dimana banyak peluang sekaligus banyak masalah. Aku sadar, sekarang aku bukan anak kecil lagi yang bergantung pada kedua orang tua. Aku harus belajar berpikir dewasa, karena aku sendiri tidak tahu apa terjadi hari esok atau bahkan detik setelah detik ini.
Jum'at pagi ini, seluruh santri bergotong-royong membersihkan pesantren setelah lebih dari dua minggu tidak berpenghuni.
Seperti biasa, aku akan memeriksa kamar Alvin untuk memastikan dia ikut gotong-royong. Entau mau sampai kapan aku menjadi alarm untuk jadwal-jadwal kegiatan Alvin. Aku yang harus menyuruhnya melakukan tugasnya. Jika tidak, dia tidak akan melakukannya dan hanya bersantai sepanjang hari.
"Mi, kamu udah persis orang tuanya Alvin tau. Tiap hari jadi alarm kegiatannya Alvin," kata Azhar yang sedang bersantai merebahkan diri.
"Bener itu Zhar, ente ngga capek apa tiap hari bolak-balik ke kamar Alvin? Belum lagi tugas-tugas dari Abah Hasyim, plus ngajar TPQ juga," Jazil menambahkan.
"Masalah capek si iya aku capek, tapi mau gimana lagi? Ini udah tugasku tiap hari kaya gini. Toh ini juga udah diatur sama Allah. Ya terima aja. Kalau dengan niat bagus, insyaa allah lelah kita menjadi lillah. Asal kita ikhlas aja," jawabku santai.
"Masyaa allah, adekku pinter juga. Aku kagum sama sikap adek aku yang satu ini. Ha ha... Ngga kaya aku, sedikit-sedikit ngeluh. Semoga aja dengan berteman dengan ente, ane ikut ketularan punya sifat kaya ente, Mi," kata Jazil.
"Ngga lah, Ja. Aku masih terlalu banyak dosa dan kesalahan, masih terlalu dini juga," aku mengelak dari perkataan Jazil. Aku tidak sebaik yang mereka katakan.
"Kata siapa yang lebih tua itu lebih bagus sifatnya? Tua belum tentu punya sifat dewasa loh, Mi, dan muda belum tentu sifatnya kekanakan. Kita cuma beda setahun, tapi tingakatan belajar kita sama."
"Udah, heh! Ayo gotong-royong!!" Syafiq yang sedari tadi diam, sekarang malah mengagetkan. Semua melotot sambil melirik pada Syafiq. Sedangkan yang dipelototi hanya nyengir tanpa dosa.
"PERMISI, ASSALAMU'ALAIKUM...."
"Eh, ayam," Jazil.
Seseorang datang ke kamarku dengan suara keras hingga mengagetkan. Pintu kamarku sedang dibuka, jadi dia bisa langsung masuk. Ya. Dia Alvin, adikku.
"Ha ha... kamu latah, Ja," Azhar meledek.
"Lo semua ngga jawab salam gue, Mas? Lo semua dosa! Mas Azmi yang bilang si," kata Alvin.
"Wa'alaikumsalam." Kami berempat menjawab serempak.
"Kata Azmi? Iya emang kaya gitu harusnya." Jazil menimpali perkataan Alvin tadi.
"Terus kenapa kalian semua ngga jawab tadi? Hah?!" Alvin menaikkan nada berbicaranya.
"Yang kamunya yang ngagetin. Aku malah jadi bilang ayam, Al," jawab Jazil.
"Udah... udah diem! Al, kamu ada apa kesini? Ada yang perlu dibantu?" Aku angkat bicara.
"Ngga! Gue disuruh manggil lo, Mas. Suruh ke rumah Abah. Cepetan, jangan lama!" kata Alvin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Novela JuvenilApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...