Chapter 7 - Melelahkan

176 26 163
                                    

"Jika dalam hidupmu hanya memandang masalah, selamanya kau tak akan bahagia. Pandanglah setiap kenikmatan yang Allah berikan, maka kau akan tau seberapa kecil masalahmu dibanding nikmat yang kau rasa."

--• Because I'm Santri •--

***

Duduk di hadapan jendela, menikmati terpaan angin yang sejuk nan menyejukkan. Itu salah satu kebiasaanku. Setengah bulan di pesantren dengan tanggungjawab baru, memang sangat melelahkan. Tanggungjawab ini masih terasa sangat berat untukku. Belum lagi Ujian Nasional yang sebentar lagi akan berhadapan denganku. Aku harus berbagi waktu, pikiran, dan tenaga untuk semua itu.

Baru sepuluh menit, ketenteraman siang ini mulai terganggu. Mulai terdengar suara-suara dan bau-bau makhluk yang sangat kukenal. Aku tidak menoleh kemana-mana, hanya memutar bola mata ke seluruh penjuru arah secara berurutan.

"MI REBUUUUUUUSSS!!!..."

Aku membuang nafas dengan kasar. Hancur sudah kesejukan siang ini hanya karena satu teriakan yang keras dan sangat memekakkan telinga. Hey? Dimana pemelik suara itu?

"Ente ngapain si buang-buang air minum? Apa airnya sudah basi, ya?" Suara tak berwujud itu mengomel kepadaku. Aku membolak-balik badan dengan maksud mencari pemilik suara.

"AZMI! DISINI ORANGNYA."

Aku menatap ke luar jendela, tiba-tiba sesosok wajah manusia terlihat. "Astaghfirullah. Kamu ngapain disitu, Ja?" tanyaku sambil mengelus dada.

"Lihat! Apa yang ente pegang?"

"Air minum. Eh, astaghfirullah, kok habis airnya, ya? Perasaan baru minum sekali." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Tanganku sibuk memperhatiman botol air mineral yang sudah tak berisi.

"Azmiiii!... Air minum ente disini. Lihat baju ane! Rambut ane! Basah semua, Mi," omel Jazil.

"He he he... Maaf, Ja, aku ngga sadar airnya tumpah dan kena kamu. Makanya bilang-bilang kalo kamu disitu, kan aku ngga tau. Lagian kamu ngapain disitu coba? Ngumpet, ya?"

"Ish! Sama sekali bukan. Kan ane bilang sama ente gini 'Mi tolong ambilkan gunting buat motong benang. Kasian kucing ini kelilit benang kakinya'. Ente aja yang ngga denger. Makanya jangan banyak ngelamun, deh, Mi! Apa lagi yang kamu pikirin sekarang? Sekolah aman, pesantren aman, kamar aman. Eh, ada satu yang ngga aman. Alvin itu ngga aman banget tau, Mi. Pengin tak jewer ginjalnya," katanya.

"Damai itu indah, Ja. Jadi, kamu harus maafin aku biar damai. Ha ha... Tinggal jemur aja bajunya, kan cuma air mineral, ngga bau, ngga berwarna."

"Huh! Dasar itu mulut tenang banget ngomongnya, tinggal jemur. Iya deh ane maafin, tapi nanti aku nyontek PR sekolah ya. Asiaappp!!!" Jazil langsung pergi dari hadapanku.

"Eh, ngga bisa gitu dong, Ja. JAZIL, KUCINGNYA GIMANA KATANYA KASIAN," aku berteriak karena Jazil mulai jauh.

"UDAH, MI. TERNYATA ANE UDAH AMBIL GUNTING," balasnya dengan teriakan pula.

"Astaghfirullah, aneh banget si temenku, udah ambil gunting sendiri pake minta diambilin." Aku memutar kedua bola mataku seraya meletakkan telunjuk di dahi dengan posisi miring, sebelas dua belas dengan ingatan Jazil. Ha ha.

Because I'm Santri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang