"Jangan terlalu bersedih, karena kesedihan hanyalah episode dalam kehidupanmu."
--• Because I'm Santri •--
***
Aku berusaha beradaptasi dengan cahaya-cahaya yang menyorot tempat ini, terasa sangat menyilaukan bagi mataku yang baru saja membuka. Ruangan serba putih dengan tiang infus di sampingku. Rumah sakit lagi? Bagaimana bisa?
Aku berusaha bangun, ingin tahu lebih jelas dimana aku berada. "Aahhh..." Baru bergerak sesaat, tubuhku terasa seperti akan saling lepas tulang. Satu lagi, lengan tangan kananku terbalut kain perban antara siku sampai pergelangan tangan. Aku baru ingat, beberapa saat lalu aku tersesat di tengan hutan, di tepi sungai, dan air bah telah menghanyutkanku entah kemana. Lalu bagaimana bisa aku ada di ruangan ini? Dimana? Siapa yang menolong? Dan... aku sudah berganti pakaian?
Ya Allah, siapapun yang menolongku, berikan segala kebaikan untuknya, balas dia dengan syurga-Mu. Do'a ku dalam hati. Bagaimana dengan Alvin, Ya Allah. Lindungi dia sampai kembali ke pesantren.
Apa mereka masih mencariku disana? Atau sudah menyerah? Apa abah dan ummi sudah tahu apa yang terjadi denganku?
Memang seharusnya hanya ada Alvin di keluarga itu, aku bukan siapa-siapa, tidak masalah jika aku tidak ada. Andai tadi malam aku tidak menemui Alvin, apa Alvin yang akan hilang seperti ini? Tidak! Ini memang sudah disiapkan hanya untukku. Tanpa aku pun pasti Alvin bisa kembali.
Mungkin memang sudah saatnya aku harus berpisah dengan mereka. Tapi mengapa harus dengan cara menyakitkan seperti ini? Dimana ucapan terima kasih dan maafku untuk mereka?
Sama sekali tidak terasa, air mataku sudah menggenang di pelupuk mata. Hanya menunggu beberapa detik untuk air mata itu terjun membasahi pipi. Aku tidak peduli, lelaki juga bisa dan berhak menangis, bukan hanya perempuan. Bukan karena rasa sakit yang ada di tubuhku, tapi karena aku merasa selama ini hidupku hanya menumpang dan menjadi beban bagi orang lain. Bahkan aku tidak bisa membalas kebaikan mereka. Harusnya aku bisa hidup mandiri sekarang. Apa kejadian ini menjadi titik awal untuk aku hidup mandiri?
Tiba-tiba, ada sesosok laki-laki yang masuk ke ruangan ini. Berpakaian serba putih dan membawa beberapa alat medis, aku tebak dia dokter. Dokter itu nampak terkejut setelah melihatku.
"Kamu sudah bangun, Nak? Alhamdulillah," katanya.
Aku bingung harus menjawab apa. Sebenarnya aku malu karena mungkin suaraku akan rusak setelah menangis.
"Kenapa kamu menangis? Apa tubuhmu terlalu sakit?" tanyanya sambil memeriksa beberapa bagian dari tubuhku.
"Saya tidak apa-apa, Dok."
"Tidak mungkin tidak ada apa-apa sedangkan kamu menangis. Katakan saja apa yang kamu rasa."
"Saya dimana, Dok?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Di puskesmas, ini masih wilayah Kota Kediri."
"Bagaimana saya bisa disini, Dok? Siapa yang menolong saya?"
"Jadi begini. Kemarin sebelum subuh, bendungan besar yang ada di dekat hutan pinus jebol. Paginya, ada dua tukang kebun datang kesini membawa kamu dalam keadaan basah. Mereka menemukanmu di tepi sungai, tangan kananmu tertindas batang pohon, jadi tulang tanganmu retak sebagian. Apa kamu juga korban insiden jebolnya bendungan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...