***
Hari ini, halaman MAN Darussalam sangat ramai. Perpisahan untuk kelas XII telah selesai dilaksanakan. Saatnya istirahat dan melepas rindu dengan keluarga yang berkunjung. Dari mulainya acara ini, aku baru bertemu abah dan ummi sekejap karena aku harus ada di depan panggung di barisan siswa kelas XII, sedangkan abah dan ummi ada di barisan wali santri.
Sekarang aku masih di dekat panggung, saling memperlihatkan samir tanda kelulusan dan hadiah bagi yang mendapatkan.
"Selamat, Ja! Kamu berhasil menjadi yang terbaik," ucap Azhar.
"Iya, Ja. Jujur, aku tadi mengira Azmi lagi yang bakal jadi yang terbaik," timpal Syafiq.
"Ngga ada yang ngga mungkin, Fiq. Aku juga manusia. Mungkin akhir-akhir ini aku lengah dan kurang belajar," jawabku.
"Tapi nilai kalian ngga jauh berbeda. Jazil 39,55 dari empat mata pelajaran, Azmi 39,50 dari empat mata pelajaran. Itu sudah tinggi banget nilainya. Aku yakin sekolah kita ngga kalah saing sama sekolah-sekolah lain. Sedikit lagi dapat nilai sempurna. Daripada aku? Cuma 38,60," kata Azhar.
"Itu juga masih tinggi, Zhar. Nilaimu kan diatas 9 semua."
"Mi!" panggil Jazil.
"Apa?"
"Ane minta maaf, ya. Gara-gara ane sering minta diajari sama ente, ane jadi dapat peringkat satu. Padahal dari dulu ente yang dapat peringkat satu. Harusnya sekarang ente yang peringkat satu juga, ane kan bisa karena ente yang ngajarin," kata Jazil.
"Kenapa harus minta maaf? Kamu ngga salah sama sekali, Ja. Itu kerja kerasmu sendiri. Masalah mengajari teman yang belum paham itu harus. Aku kan mengajari kamu sebelum ujian, selebihnya kamu sendiri yang usaha. Aku sudah bilang, mungkin aku lengah akhir-akhir ini. Sudahlah, intinya yang kita dapat sekarang ini atas usaha kita dan pertolongan Allah."
"Makasih udah bantu ane belajar, Mi."
"Sama-sama."
"Mau pada lanjut kemana?" tanya Syafiq.
"Pelaminan," ucap Jazil asal.
"Serius?"
"Ya kali serius, Fiq. Calon aja belum ada," canda Jazil dengan tawanya.
"Aku belum tau mau kemana," Azhar.
"Kamu, Mi?"
"Azmi ngga perlu ditanya. Dia sudah memimpikan Al-Azhar dari dulu. Misal Azmi daftar kesana, ane jamin diterima," kata Jazil.
"Kamu yakin, Mi? Al-Azhar yang di Kairo, Mesir, kan?"
"Iya. Minta do'anya, ya. Insyaa allah aku jadi kesana, aku sudah dapat restu dari abah sama ummi," jawabku dengan senyuman lebar.
"Secepat itu dapat izin?"
"Iya."
"Ya ampun, Azmi. Kita bakal pisah lama banget. Ente akan pulang setelah jadi sarjana, kan? Iya, kan? Kebanyakan kan begitu," kata Jazil dengan ekspresi sedih yang dilebaykan.
"Ngga usah lebay deh, Ja! Azmi mau belajar, bukan liburan. Dukung dong!" protes Syafiq.
"Syafiq yang genteng, ane cuma sedih mau berpisah. Wajar, kan? Apa itu berarti ane ngga dukung?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...