[1] Maudy yang Galak

8.1K 774 64
                                    

Gadis mungil itu berjalan menghentak, hatinya kesal luar biasa. Rasanya kalau ia bisa, makan singa atau hiu sekalian agar hilang rasa yang melanda. Tapi mana mungkin! Belum-belum ia sudah keburu diterkam. Bisa jadi yang tersisa tinggal nama yang akan selalu dikenang, itu pun kalau ada yang masih mau mengenang namanya.

"Lo kenapa, Dy?"

"Heh! Mana laki lo?"

Regi mengerutkan kening. Maudy memang tempramental, dari dulu ia mengetahui hal itu dengan pasti. Belum lagi kata-katanya selalu kasar dan terkesan urakan. Namun jauh di lubuk hatinya, gadis mungil yang dilabeli sahabatnya ini, adalah perempuan nomor tiga yang ia sayang, selain Ambu dan Disti tentu saja.

"Datang-datang marah-marah. Mending lo nikmatin suasana pantai kayak gue."

"Kalau bukan tuh iblis bikin gue kesal setengah mampus, gue bakalan nikmatin pantai seharian, Rex!!!"

Gadis berambut cokelat yang jadi lawan bicaranya, makin tidak mengerti arah pembicaraan mereka. "Lo kenapa, sih? Coba pelan-pelan ngomongnya. Asli, lo sama banteng betina mirip banget."

Maudy menepis tangan Regi yang menuntunnya agar mau duduk. "Gue butuh laki lo sekarang!"

"Lo enggak mau selingkuh sama laki gue, kan?"

Demi Neptunus yang jauh sekali dari Bumi, kenapa juga Maudy punya sahabat akrab seperti Regi, sih?!

"Gue mau protes! Bilang sama laki lo yang tersayang itu, gue resign jadi team sales!"

Regi melongo. "Kita lagi liburan kenapa ngomongin resign, sih?"

"Dan gue mau, resign gue kali ini, ada banyak kompensasi!"

Regi makin tidak mengerti.

"Ini semua karena asisten sialannya Barra asal lo tau!" pekik Maudy tak terima. Kembali ia melangkah menjauh dari Regi karena sudut matanya melihat bosnya sudah jalan mendekat.

Kalau dengan pria kurang ajar tadi, satu tamparan sudah melayang, kali ini bosnya juga harus kena damprat.

HARUS!

"Bos!"

Barra yang baru saja mengambil pesanan kelapa muda untuk Regi, mengerutkan kening. Istrinya juga aneh, kenapa pula harus menjadikan dirinya pelayan sementara banyak pelayan di cottage yang mereka sewa, sih? Barra sebenarnya sedikit kerepotan tapi demi istri tercinta yang sedang anjlok mood-nya, ia rela.

"Kenapa kamu, Dy?" tanya Barra sembari melewati Maudy yang terkesan menghalangi jalannya.

"Saya mau resign!"

Kadang, Maudy ini luar biasa menjengkelkan tapi entah kenapa Barra sendiri tidak pernah tega memarahinya. Selain Maudy punya banyak sekali akal pun bantahan yang selalu masuk dalam logika Barra, gadis ini menjadi perempuan kesayangan Regi sejak lama. Persahabatan mereka mirip kepompong. Lekat, erat, lengket, dan tak terpisahkan.

Barra mencoba mengabaikan dengan terus berjalan menuju tempat istrinya bersantai. Menggunakan bikini two piece yang sangat amat seksi serta perutnya yang membuncit benar-benar membuat Barra rasanya mau mengurung Regi di kamar saja. Tapi mana bisa!

Untungnya, cottage ini ia buat dalam skala private hanya untuk kalangan terbatas, sangat-sangat terbatas! Mereka liburan berempat karena Bobby tak bisa jauh-jauh dari Barra. Selain karena banyak proyek yang harus mereka bahas, Bobby dibutuhkan untuk mewakili dirinya kalau-kalau Regi menghancurkan meeting Barra seperti biasanya.

Kemanjaan Regi naik seribu kali lipat membuat Barra pusing tujuh keliling. Tidak bisa marah atau sekadar melirik tajam ke arah istrinya itu. Tak sampai lima menit kalau Barra melaksanakan niatnya, sang permaisuri Ibunda Permaisur Rere meneleponnya. Menceramahinya dengan banyak petuah yang berulang-ulang mirip kaset rusak. Jadi jalan tengah yang Barra ambil adalah menuruti apa permintaan Regi.

Regi dan Rere, kolaborasi sempurna untuk membuat Barra pusing.

"Bapak!!!"

Barra menoleh enggan. "Kalau mau resign buat suratnya bukan teriak-teriak."

"Oh, fine! Saya buat!"

Disaksikan sendiri kalau gadis mungil berambut hitam itu berjalan menjauh. "Maudy kenapa?" tanya Barra sembari duduk dan memberi kelapa muda pesanan istrinya itu.

"Enggak tau. Tadi aja marah-marah sama aku."

"PMS?"

Regi tertawa. "Kayaknya lebih dari sekadar PMS." Lalu Regi melihat seseorang mendekat ke arahnya.

"Astaga, Bu Bos. Kadang rasanya mau enggak melihat tapi disuguhkan gini, gimana dong?"

Barra memukul bahu Bobby dengan keras sehingga asisten juga sepupunya itu teriak kesakitan. "Bini gue mau ngerasain berjemur pakai bikini. Lo aja yang pergi dari sini!"

"Lihat Maudy?" tanya Bobby sembari mengusap bahunya yang masih dirasa sakit. Sialan memang Barra ini.

"Lo apain Maudy?!" Regi langsung bangkit dan menarik telinga Bobby tanpa ampun. "Dia marah-marah ke gue pasti ada sebabnya. Dan feeling gue bilang, lo penyebabnya! Ngaku!!!"

"Ampun, Nyonya Bos! Ampun!!!"

"Ngaku!!!" desak Regi tanpa memberi kesempatan Bobby menghindar.

Barra hanya tertawa menyaksikan Bobby terkena hukuman dari istrinya.

"Dia bawel banget ngoceh mulu. Gue enggak tahan, lah. Jadi, ya ... gue curi cium doang. Dikit," kata Bobby sembari meringis kesakitan. "Dikit doang, kok. Benar, deh." Bobby memperkuat argumentasinya. Dua bar-bar ini memang cocok sebagai pasangan suami istri!

"Cuma lo bilang? Bagus lo enggak mampus di tempat, Bobby!"

***

Maudy berulang kali membasuh bibirnya dengan air mengalir dari wastafel. Ada sedikit rasa asin tapi ia abaikan. Mungkin karena di sini dekat pantai, jadi airnya agak-agak asin. Yang jelas, ia harus segera menghapus jejak dari pria kurang ajar slash lintah lengket bernama Bobby!

"KURANG AJAR! BAJINGAN TUH ORANG!"

Gadis itu bukan sok suci atau apa, dulu ia pun pernah berhubungan dengan seorang pria, dan yah ... mereka berciuman. Tapi mereka consent. Sama-sama mau bukan terpaksa atau malah dipaksa seperti yang ia alami sekarang.

Astaga! Kenapa dirinya harus selalu berhubungan dengan iblis bernama Bobby Rennes. Sial sekali hidupnya kini!

"Maudy."

Kalau saja ini bukan privat holiday sahabatnya, Maudy bisa pastikan ia memilih berada di kamar dan berkutat dengan bantal dan guling. Ia pikir, seorang Bobby tidak akan ikut dan menjadi ekor Barra. Ia lupa, kalau segala urusan lebih banyak Bobby yang urus.

"Maudy."

Gadis itu menoleh dan menatap si lawan bicara dengan tatapan yang tidak ada bendera damainya sama sekali.

"Saya minta maaf."

"Oh, enak amat hidup lo langsung bilang maaf!" Maudy berjalan dengan langkah agak tergesa. Tak peduli kalau wajahnya masih lembab karena air yang tadi ia gunakan untuk mencuci muka. "Bibir gue ternoda! Berengsek lo!"

Maudy tidak pernah main-main saat melayangkan tangannya pada pipi Bobby. Demikian keras hingga panas juga perih serta kaget bersamaan dirasa Bobby tanpa jeda. Gadis itu langsung pergi berlalu begitu saja tanpa permisi, tapi Bobby hentikan sebelum terlambat.

"Baru kali ini saya disakiti tapi mau khilaf." Lantas, tanpa permisi Bobby lanjutkan pertemuan dua bibir yang tadi terjeda karena amarah Maudy. Tindakan Bobby sontak membuat Maudy menegang dan melotot garang. "Ditampar lagi juga enggak apa."

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang