[6] Healing

3.7K 659 99
                                    

Berulang kali Barra memijat pangkal hidungnya. Matanya juga mulai lelah karena banyak sekali laporan yang harus ia baca dan teliti. Ketidak hadiran Bobby di sampingnya memang membuat kepalanya pening mendadak. Staff yang biasa membantu Bobby sendiri tak banyak membantu lantaran kepusingan sendiri dengan banyaknya tugas yang hadir di meja.

"Ini sudah sampai di tahap apa?" tanya Barra tiba-tiba.

Upi, nama asisten Barra terdiam. Matanya bolak balik menatap laporan yang disodorkan Barra. Lalu tanpa sadar, ia menggaruk kepalanya tanda kepusingan sendiri.

"Astaga," desah Barra pelan. "Ya sudah lah, kamu balik ke meja aja. Sudah saya pusing, nanya sama kamu jadi tambah pusing."

Upi meringis. "Maaf, Bos. Kadang Bos Bobby enggak mau berbagi kerjaan karena jarang juga di kantor."

Apa yang Upi bilang memang benar. Bobby terlalu mobile untuk dikatakan sebagai seorang asisten tapi ... ia paling kompeten yang bisa Barra miliki. Dan sekarang Bobby tak ada. Izin pulang ke Surakarta di saat Barra repot luar biasa. Apa yang bisa Barra lakukan tanpa Bobby? Tak ada juga. Segala hal banyak yang urus si Bobby, kok. Barra taunya tanda tangan, garis besarnya aja, lalu terima uang.

Selebihnya?

Bobby yang kerja.

Enak? Tidak sama sekali! Sekarang Barra baru merasakan arti Bobby Rennes dalam hidupnya. Sial sekali. Sial! Rutuk Barra dalam hatinya. Mengenai masalah showroom yang kini ia kelola lah yang paling banyak menyita pemikirannya. Sang ayah dan ibunda tercinta? Pergi ke luar negeri di saat Barra banyak sekali urusan di restoran yang ia kelola. Ia sudah diperingati sejak keberangkatan jangan mengganggu acara mereka berdua.

Tuhan! Adakah yang bisa menguatkan hati Barra sekarang?

Tak sabar, ia pun menyambar ponsel yang sejak tadi tergeletak begitu saja. Tak bisa ia biarkan kepalanya serasa dijatuhi banyak granat dan siap meledak kapan pun. Namun tangan itu tertahan di udara karena suara Bobby terngiang jelas di telinganya. Bahkan Barra bisa membayangkan bagaimana wajah itu terlihat memelas dan khawatir.

Tadinya Barra ingin mendampingi tapi Bobby mengingatkan betapa menjadi Barra Herdiyanto sekarang tidak lah mudah. Ada banyak tanggung jawab yang dipikulnya sekarang. Memang semuanya bisa teratasi tapi waktu yang ia punya mendadak sempit lantaran dirinya harus membagi perhatian dengan sang istri. Regi manjanya tak ketulungan sejak hamil dan tingkat cengengnya naik ribuan persen.

Hal ini jelas mengganggu Barra tapi ia tak bisa berbuat banyak. Bukan tak ikhlas atau tak suka. Regi sudah seperti Love yang bergelung manja tiap kali ia pulang. Dan Barra menyukai hal itu.

"Barra, gue izin seminggu ini enggak ngantor."

Barra yang baru bangun langsung melotot begitu mendapati suara Bobby di ujung sana. Kekesalannya siap muntah karena gangguan yang ia terima pagi ini. Belum juga nyawanya kumpul seratus persen tapi sudah mendengar kalao asisten terpercayanya justeru izin cuti mendadak.

"Ada apa?"

"Papa minta gue pulang."

Jika sudah bicara mengenai seorang Wicaksana, Barra tak bisa banyak tingkah. Juga kepalanya terisi mengenai rasa prihatinnya dengan Bobby. Kemarahannya karena gangguan pagi ini perlahan sirna. Berganti dengan bahu yang terkulai lemah. "Apa aja yang mesti gue lakukan?"

"Lah, lo bosnya Barra? Kok lo tanya gitu ke gue? Lo bangun dulu yang benar!"

Barra berdecak. "Gue sudah bangun karena lo yang ganggu!"

"Nah, ini Barra yang gue kenal. Yang tadi bukan."

Pria itu menggusak rambutnya yang memang sudah berantakan. "Kasih tau staff lo biar gue enggak terlalu ribet ngurus yang lainnya."

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang