[35] Ngemall bareng Maudy. 3

3.2K 318 283
                                    

Maudy duduk dengan tenang, menikmati sajiannya yang sudah terhidang. Tenderloin dengan siraman saus barbekyue menjadi pilihannya. Potongan kentang yang tampaknya menggiurkan menjadi pendamping yang pas serta salad di piring saji lainnya. Kepul asap dari hot plate miliknya terus mengeluarkan asap pertanda kalau sajian yang baru saja diantar, baru saja keluar dari pemanggang.

Sementara wanita di depannya duduk di mana matanya tak dilepaskan memperhatikan Maudy. Mulai dari cara gadis itu berpakaian, bertingkah, gestur tubuhnya selama bicara, belum lagi kata yang terlontar dari bibirnya. Semuanya masuk dalam perhitungan seorang Nimas Ganeswari.

Ia tak menyangka akan bertemu dengan Maudy lagi di Jakarta. Saat di Bali tak banyak yang mereka bicarakan karena ia merasa, semua perhatian yang seharusnya tertuju padanya, justru teralih dengan sempurna pada sosok Maudy. Apa, sih, hebatnya dia? Padahal secara visual, Nimas boleh berbangga diri.

Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya meski tak terlalu putih tapi pancaran kecantikan gadis keturunan Jawa melekat padanya. Elok dan rupawan wajahnya ditempa. Apalagi kalau ia menggunakan kebaya serta kain lilit khas Surakarta. Pria mana yang tak memandanginya. Menginginkannya. Menjadikan ia sebagai pusat perhatian. Tapi di depan Maudy, semuanya runtuh.

Tidak. Maudy tak mendapatkan banyak perhatian dari pria. Baik Nimas ataupun Maudy belum pernah berjalan bersama untuk saling membandingkan diri di depan sorot mata pria di luaran sana. Tapi rasa iri yang lain, yang membuat Nimas merasa Maudy adalah saingan terberatnya. Apalagi kalau sampai dugaannya benar; gadis ini adalah kekasih dari Bobby Rennes. Pria yang dijodohkan dengannya.

Tapi ... kemungkinan itu sangat lah kecil, kan?

"Kenapa enggak dimakan?" tanya Maudy begitu mengangkat matanya dan beradu pandang dengan Nimas. Ada geram dan kesal yang mulai memuncak menguasai Maudy tapi ia tahan sedemikian rupa.

"Iya. Selamat makan," kata Nimas pelan.

"Aku enggak biasa bilang selamat makan, sih. Aku biasanya memulai dengan bismillah," sahut Maudy dengan tenangnya. Meski sungguh, ini bukan Maudy sekali. Ia jadi bertanya-tanya, apa Nimas tak tau mengenai dirinya? Ah ... siapa dia? Anak yang dibuang sang ayah karena termakan hasutan wanita licik, ibu dari sosok yang duduk di depannya ini, kan?

"Saya enggak sangka kalau bertemu kamu di sini."

"Aku tinggal di Jakarta, by the way." Maudy sangat menjaga intonasi suaranya. Tetap pada nada riang, ringan, serta penuh simpati. Bahkan ia seharusnya dianugerahi piala citra sebagai peran menggunakan topeng sandiwara terbaik dalam makan siang menjelang sore ini. Atau malah keluar sebagai juara umum mengingat kontrol emosi Maudy itu buruk terutama pada bagian, siapa pun yang menyakiti orang-orang yang ia sayangi.

"Di panti?" tanya Nimas dengan hati-hati. Meski sempat kesal lantaran ucapan Maudy mengenai awal dari meyantap sajian di depan mereka.

"Itu rumah kedua, eh ... bisa aku bilang rumah ketiga."

Senyum Nimas tertarik tipis sekali. Tiga rumah katanya? Sombong sekali.

"Yang satu, aku anggap seperti neraka. Yang kedua, surgaku yang paling nyaman. Dan yang ketiga, tempatku menempa diri agar kian tunduk seiring bertambahnya usia."

Kening Nimas berkerut jadinya. Tak paham apa yang Maudy katakan barusan.

"Bagiku, di mana pun panti itu berdiri, itu adalah rumah ketiga. Yang menempaku untuk menjadi perempuan tau terima kasih, bisa memahami dan memaknai kehidupan, menjadi pribadi yang lebih baik karena banyak cerminan kehidupan yang terjadi secara nyata di sana, juga bersyukur lantaran Tuhan banyak memberi berkah untuk hidup aku."

"Makanya kamu dekat dan cepat akrab dengan anak panti?"

"Oh ... tentu saja bukan karena itu." Maudy menyeringai. "Mereka itu anak-anak. Yang hatinya masih putih bersih selayaknya kertas foto copyan yang belum terjamah tinta mesin. Mereka bisa tau mana yang tulus, enggak ada tujuan dan maksud apa pun ketika mendekati mereka, juga ... paling tau mana yang hanya sebatas pura-pura." Maudy berkata dengan sedikit mencondongkan tubuhnya. Setengah berbisik juga, ditambah lirikan matanya tajam sekali. Ia pergunakan baik-baik untuk melihat perubahan pada wajah Nimas yang tenang itu.

Ada kesiap yang kentara sekali di wajah sang lawan, tapi dengan cepat ditutup dengan senyuman. "Kamu benar, Dy. Anak-anak enggak bisa dibohongi."

Keterdiaman mereka berdua dipergunakan untuk menikmati sajian, meski sebenarnya tidak seperti itu. Sesekali mata mereka saling menilai satu sama lain tanpa suara.

"Oiya, aku enggak bisa terlalu lama makan bersama kamu. aku masih ada urusan," kata Maudy masih dengan sikap menilai sang lawan bicara.

"Iya, saya juga. Saya berterima kasih atas undangannya."

"No prob. Hanya steak. Lagian anak-anak juga gembira. Mereka jarang ke mall kecuali aku datang berkunjung."

"Kamu baik sekali," puji Nimas dengan senyuman kecilnya.

"Enggak. Aku enggak baik. Jangan mudah menilai seseorang."

Nimas masih mencoba untuk bersikap ramah, senyumnya juga terus ia pasang. "Kamu benar."

"Terutama pada sosok wanita yang memasang taring di balik senyuman manisnya. Lenggak lenggok berjalan penuh anggun tapi nyatanya ... ia lah musuh sebenarnya."

Nimas terkesiap. "Apa maksud kamu?" tanyanya penuh terkejut.

"Enggak ada. Hanya mengungkapkan petuah lama. Iya, kan?"

Belum habis rasa penasarannya, hadir satu sosok yang kemarin ia temui. Belum sempat juga banyak bicara serta meminta maaf karena makan siang yang sangat berantakan. Ada rasa sungkan serta tak enak hati lantaran kejadian kemarin. Namun belum sempat ia utarakan banyak kata, ia sudah dikejutkan dengan satu fakta.

"Kebetulan kamu ada di sini, Nimas." Bobby duduk segera di samping Maudy. "Saya enggak sangka kalau kalian sudah saling mengenal sebelumnya."

Nimas hanya mampu menarik sudut bibirnya sedikit. Satu hal yang membuatnya tak bisa mengalihkan mata ke mana-mana. Tatapan pria itu mesra sekali pada gadis yang sejak tadi membuat perasaannya campur aduk. Belum pernah sepanjang ia mengenal sosok Bobby Rennes, sorot mata itu melingkupi sang pria tanpa ditutupi sama sekali. Jelas dan membuat jantung Nimas serasa berhenti berdecak.

Jadi ... apa yang ia takutkan menjadi nyata?

"Kenalkan ini ... kekasih saya." Bobby mengecup singkat sisi kepala Maudy. "Maudy Senan—"

"Roro Ajeng Maudy Senandika Sarasvati ... Bringharja, lebih tepatnya."



****

Okeee sampai di sini yaa part gratisnya. Lanjutannya aku update di Karya Karsa. Buat yang belum tau akun aku, bisa disearch di kolom pencarian; MissChaRiyadi

Nanti tinggal cari aja mau baca seri yang mana. Aku update mulai dari part awal kok biar kalau kangen sama Maudy bisa baca ulang di sana. 

Untuk kisah lanjutan yang bakalan aku update di wattpad ehhmmmm... kisahnya Ryan-Harada gimana? Ini belum pernah tayang di wattpad sih. Kujamin seruuuuuu

Judulnya FALL DOWN

Mungkin aku update besok atau lusa. Aku prepare dulu. 

terima kasih untuk pembaca semuanyaaaa. Maaf ya kalau komentarnya jarang aku baca tapi ketahuilah, komentar kalian bagian penyemangatkuuuu

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang