"Mi," panggil Maudy setelah diizinkan masuk ke dalam kamar ibunya. Tak lupa juga boneka beruang kesayangannya, Paddington, ia peluk erat sebagai peneman. Kaus longgar serta celana panjang yang nyaman juga sudah ia kenakan karena tau, dirinya pasti sebentar lagi akan terlelap tidur. "Mami sudah mau tidur? Baru jam sembilan."
Sisil mencibir selepas melipat mukena yang baru saja ia gunakan. "Besok Mami ada latihan seharian. Ngumpulin tenaga. Maklum sudah tua."
"Mami ih," pekik Maudy dengan mata mendelik tak suka. "Mami masih muda, ya. Baru punya anak aku aja."
Sisil tergelak jadinya. "Satu aja bikin Mami pusing. Apalagi dua."
Maudy melempar dirinya pada ranjang empuk milik sang ibu. Aroma pelembut yang selalu digunakan Sisil langsung memenuhi indera penciumannya. Aroma yang selalu membuatnya merasa ia 'pulang'. "Malam ini aku mau tidur sama Mami." Ia pun mengarahkan kepala pada sang ibu dan memperhatikan tiap gerak wanita yang sangat ia sayangi ini.
"Sudah punya pacar, kok, masih tidur sama Mami?" Sisil menatap putrinya penuh curiga. "Memangnya kamu enggak mau telepon mesra sama pacarmu itu?"
"Apaan, sih, Mi!" Maudy tak percaya ibunya bisa mengatakan hal itu. Tapi melihat ada gurat canda di wajah sang ibu, pada akhirnya Maudy pun tertawa. "Enggak, ya. Aku enggak sampai perlu telepon mesra gitu. Si Rennes juga sudah beri kabar tadi. Jadi enggak perlu telepon-telepon lagi. Dia juga pasti sibuk direcoki Bos Barra. Kapan, sih, mereka berdua itu saling melepaskan diri?"
"Bicara tuh yang santun, Dy. Kamu juga enggak bisa lepas dari Regi, kan? Sama halnya seperti Bobby dan Barra sepertinya. Lagi juga, kalau semesta merestui, Bobby itu serius sama kamu. Calon suamimu, lho, itu. Yang sopan kalau bicara sama dia. "
Maudy tergelak. "Bahasa Mami. Semesta merestui."
Tapi ditanggapi Sisil dengan gelengan pelan juga ia dudk di samping putrinya. Diusap lembut rambut sang putri penuh sayang. "Mami pasti restui kalian kalau memang Bobby serius. Kenyataannya, pemuda itu serius. Orang tuanya Mami kenal dengan baik. Meski, yah ... Wicak memang orang yang kaku. Setengah restu sudah kamu kantungi. Beruntung, kan?"
Gadis itu masih mempertahankan tawanya. "Iya, deh. Beruntung. Terima kasih sudah merestui kami."
Mendengar ucapan dari putrinya malah membuat Sisil mencibir. "Eh ... bagaimana Tante Gladys?"
"Tante Gladys orangnya seru. Macam Tante Rere. Kalau Tante Rere itu hobinya jewerin kuping aku, Mi. Biasanya karena aku yang salah, sih," kata Maudy dengan cengiran.
"Ngobrolin apa kamu tadi sama Tante Gladys?" Sisil cukup penasaran. Lantaran ada telepon dari sanggar miliknya, ia jadi melewatkan beberapa keseruan antara putrinya dan sang sahabat. Sisil menyadari, tingkah penyesuaian diri Maudy patut diacungi jempol.
Kesan ramah dan santun selalu bisa keluar dari Maudy ketika pertama kali bersua. Tapi lama kelamaan, saat orang baru itu membuatnya nyaman, Maudy bisa menunjukkan siapa dirinya. Kalau tidak, ia tetap menjadi Maudy yang banyak menutupi dirinya dengan senyuman. Tak akan ia tunjukkan betapa menyebalkan dirinya jika sudah bicara dan berpendapat. Makanya jarang ada yang tahan lama dengan Maudy jika gadis itu sudah menunjukkan aslinya.
"Banyak," binar mata Maudy langsung menyala begitu saja. "Tante Gladys punya beberapa yayasan juga. Belum lagi sering ikut kegiatan sosial untuk anak penyandang kanker gitu. Aku jadi pengin ikut ke Samarinda."
"Healing terus. Kerja, Dy."
Maudy tergelak. "Hancurkan saja impian Dydy, Mi." Tapi ia tak sakit hati. Ibunya dan caranya bicara memang sering membuat salah paham tapi Maudy selalu tau, maksud terselubung dari perkataan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drive Away From Me
Roman d'amourKisahnya Maudy-Bobby Spin off dari story Bos Tampan vs Kacung Songong *** Kata orang, jangan membenci terlalu dalam. Jika bom cinta jatuh, repotnya tak tanggung-tanggung. Tapi Maudy terabas kata-kata itu. Bagaimana bisa timbul cinta kalau dibuat jen...