Kenangan masa kecil Maudy mau tak mau akhirnya mulai ia gali. Sekelebatan mengenai rumah dengan pendopo tinggi beserta taman-taman yang apik juga banyak orang berkain batik mulai memenuhi kepalanya. Beberapa dari mereka juga tak pernah langsung menatap Maudy secara langsung. Gadis kecil berambut ikal itu pun jarang sekali keluar dari pondoknya. Langkahnya riang tapi selalu berada di belakang sang ibu.
Kadang tangan mungilnya juga tergenggam dengan tangan kekar milik pria yang sosoknya tinggi menjulang. Maudy kecil dalam ingatan itu agak takut dan sungkan saat harus menatap sang pria padahal kerinduannya mendengar suara milik sang pria sangat lah besar. Dia lah sang ayah. Yang kadang bersimpuh merendahkan dirinya untuk menyejajari tinggi dengan Maudy. Lalu sesekali pria itu bercerita mengenai beberapa hal tapi sarat makna kehidupan termasuk gugurnya daun di taman.
Terngiang meski samar suara itu berkata, "Daun yang jatuh menyentuh bumi bukan tanpa kehendak. Ia memiliki makna tersendiri termasuk membantu menyuburkan tempatnya bernaung dulu. Sama seperti manusia yang nantinya kembali ke asal. Di kala hidup, apa yang ia kerjakan. Berguna kah. Menjadi benalu kah."
Apa ia mengerti kala itu? Tidak. Yang ia ingat, sosok itu menatapnya penuh kasih sayang. Sampai pendopo-pendopo itu berganti dengan rumah yang kini memenuhi ruang ingatannya sampai detik ini. Rumah satu lantai dengan area yang cukup luas, dikelilingi dengan taman yang dirawat dengan baik oleh sang ibu. Tak lagi banyak seliweran orang-orang berkain batik.
"Kita pindah ke Jakarta saat usia kamu lima tahun, Dy."
"Pantas aku enggak terlalu ingat mengenai rumah ini," kata Maudy menunjuk salah satu potret yang kini ada di tangannya.
Mereka ada di kamar Sisil di mana wanita itu akhirnya membuka lembaran kisah hidup di masa lalunya. Yang ia tutup dengan sempurna sampai waktunya tiba. Ia pikir, ia tak butuh untuk membuka kisah lama penuh drama dan kekecewaan ini tapi ternyata, garis yang akan Maudy lalui membuatnya memutuskan untuk mengatakan sebuah kejujuran yang lama ia simpan.
Kedatangan pria muda yang menurut Sisil cukup berani dan terkesan konyol, tapi sorot matanya tak bisa diremehkan begitu saja. Membuat Sisil sedikit bimbang apa memang tepat untuk mengatakan hal ini pada Maudy sekarang. Juga tanpa ada keraguan sama sekali saat pria itu mengatakan siapa dirinya.
Anak tunggal dari keturunan Diningrat.
"Apa saya perlu tau latar belakang kamu?" tanya Sisil kemarin di mana pria itu malah terkekeh. Bukan untuk meremehkan, Sisil tau itu dengan pasti.
"Saya enggak ingin ada yang Tante ketahui belakangan. Ini saya, apa adanya saya. Meski latar belakang ini enggak terlalu saya pentingkan di sini, tapi saya tetap lah saya. Enggak mungkin saya hapus latar belakang ini dengan mudahnya. Saya enggak tau-tau ada di dunia ini begitu saja, kan, Tante?"
Ucapannya membuat Sisil tersenyum tipis. "Kamu enggak takut dengan ancaman karena latar kamu?"
"Dari segi apa ancamannya? Kekolotan orang tua saya?"
"Mungkin."
"Enggak," sahut sang pria dengan yakinnya. "Saya anak lelaki. Saya juga sudah dewasa. Saya bisa memutuskan apa pun dengan kuasa sendiri tanpa memedulikan latar belakang yang saya punya. Andai orang tua saya, kebetulan tinggal Papa, karena Mommy sudah lama meninggalkan saya, enggak setuju dengan keinginan saya, enggak jadi soal. Selama Tante merestui hubungan kami."
"Kamu piatu?"
Sang pria, Bobby Rennes, tersenyum tipis sekali. "Enggak. Mommy ada di Jerman. Mommy menyukai kebebasan. Saya memahami apa keputusan beliau hari ke hari meski awalnya tak menyetujui. Saya pribadi sudah bicara dengan Mommy dan beliau setuju. Mendukung saya penuh dengan atau tanpa restu Papa." Bobby sedikit mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. "Tapi saya yakin, Maudy bukan orang yang menyukai sesuatu tanpa restu. Ini hanya kemungkinan terburuk yang bisa terjadi karena latar belakang saya, Tante."
Sisil mengangguk pelan. "Keluarga Diningrat bukan keluarga sembarangan. Kamu jelas tau itu, Bobby. Bahkan sampai garis keturunannya yang terakhir pun nama Diningrat tetap lah terpandang."
Kening Bobby sedikit berkerut tapi kemudian ia lenyapkan seiring dengan satu pertanyaan yang membuat Sisil menatap pria yang menjadi lawan bicaranya penuh lekat. "Tante ... sepertinya tau Diningrat seperti apa? Bahkan Tante enggak bertanya di mana saya bekerja, apa kegiatan saya, bagaimana cara saya nanti menghidupi putri Tante andai kelak menikah nanti. Tapi justru latar yang menjadi fokus pembicaraan kita, Tante. Boleh kah saya tau, siapa Tante sebenarnya?"
"Saya hanya wanita tua tanpa gelar apa pun, Bobby," kata Sisil dengan senyuman tipis. "Dan saya tak ingin lagi berurusan dengan karesidenan."
"Bahkan untuk putri Anda sendiri?"
"Apa kamu menyerah karena saya tak ingin lagi diketahui orang lain lagi?"
"Enggak. Sama sekali enggak, Tante. Saya tegaskan sekali lagi, dengan atau tanpa restu kalau Tante mengizinkan saya untuk menikahi Maudy, maka saya usahakan terjadi."
"Kamu tau hal itu kemustahilan, kan? Saya belum mendengar ada yang bersikeras melawan perjodohan yang sudah diatur. Terutama di kalangan ningrat. Kalau pun ada, konsekuensi yang akan mereka terima juga bukan hal sepele."
"Papa dan Mommy bisa menikah padahal di luar dari jalur perjodohan," kata Bobby.
"Apa sampai sekarang ibu kamu mendapatkan tempat di kalangan kalian?" tanya Sisil dengan telaknya. Membuat Bobby agak terkesiap lantaran tak siap mendapatkan pertanyaan yang cukup menohok ini. "Melihat ekspresi kamu, saya yakin sekali kepergian ibu kamu bukan tanpa sebab."
"Apa Tante enggak merestui kami?"
Cukup lama Sisil terdiam sebelum akhirnya mendengar ucapan Bobby yang membuatnya merenung. "Karena itu lah Tante enggak mau membuka siapa diri Tante sebenarnya?"
"Mi," panggil Maudy karena tau ibunya melamun. "Mami mikirin apa?" Gadis itu pun bersandar di bahu ibunya.
"Mami enggak memikirkan apa-apa, Dy."
"Maudy siap dengarkan cerita Mami ini. Justru aku takut kalau Mami berkisah mengenai masa lalu, ada sebagian hati Mami yang nantinya kembali terluka. Dydy enggak mau, Mi."
Sisil menggeleng tegas. "Perasaan Mami mengenai masa lalu sudah berakhir, Dy. Saat orang yang Mami cintai memalingkan wajahnya. Menatap Mami dengan pandangan jijik seolah Mami ini sudah bergelimang dosa teramat besar. Tapi Mami dibungkam, sama sekali tak bisa menjelaskan kenapa semua ini bisa terjadi."
Maudy menghela napas pelan. "Kalau begitu ceritakan, Mi."
"Tapi janji satu hal sama Mami, Dy," kata Sisil sembari menatap lekat netra putrinya. Ia butuh memastikan hal ini agar tak terjadi kekacauan yang lain. Yang mana ia sudah tak ingin lagi memedulikan apa yang terjadi di sana. Ia disingkirkan maka ia pun tak ingin lagi kembali. Sudah cukup rasanya berkata hingga mulutnya rasa berbusa pun tak ada yang memercayainya.
Semuanya menyepakati satu hal; ia pendosa.
"Janji apa?"
"Janji jangan mengacak Surakarta setelah tau kebenarannya."
"Lho kalau ada hal yang enggak adil kenapa aku enggak boleh bersuara?" Maudy tampak berang mesti ia belum tau apa yang sebenarnya terjadi. "Kalau itu enggak adil untuk Mami, kenapa Mami diam?"
Masih dengan senyuman, Sisil kini menatap putri semata wayangnya. "Di titik itu, Mami akhirnya menyadari. Enggak semuanya harus diselesaikan dengan tindakan langsung. Ada kalanya, Mami harus menepi tapi dengan menyusun satu demi satu kepingan senjata untuk melawan. Bisa apa Mami di saat semua orang menyudutkan? Sepatah kata yang Mami ucapkan pun dianggap kebohongan?"
Ada geram tersendiri yang mendadak melingkupi diri Maudy.
"Bahkan bapak kamu pun enggak percaya. Itu bagian yang paling membuat Mami merasa, apa gunanya bicara. Enggak ada lagi." Suara itu sarat sekali sendu yang mana membuat Maudy langsung memeluk ibunya dengan erat. Tak ada tangis di sana. Ibunya justru mengusap sayang dan penuh lembut rambut Maudy yang tergerai ini.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, kehidupan Sisil tak ubahnya seperti orang istri dan ibu yang paling beruntung karena memiliki suami seperti Katon Bringharja. Mereka diikat dalam tali pernikahan berlandas perjodohan sebagaimana layaknya keturunan garis biru lainnya. Tak ada yang bisa menolak perjodohan yang katanya sudah sejak kecil dilakukan. Lagi pula prinsip orang tua mereka dulu, cinta dan keselarasan akan timbul seiring berjalannya waktu.
Benar kah hal itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Drive Away From Me
Roman d'amourKisahnya Maudy-Bobby Spin off dari story Bos Tampan vs Kacung Songong *** Kata orang, jangan membenci terlalu dalam. Jika bom cinta jatuh, repotnya tak tanggung-tanggung. Tapi Maudy terabas kata-kata itu. Bagaimana bisa timbul cinta kalau dibuat jen...