[33] Planning

3.2K 616 106
                                    

Barra memperhatikan Bobby dengan lekatnya. Sepupu merangkap asisten juga sahabat paling dekat sampai mendapatkan julukan biji lengket dari Maudy ini tampak konsentrasi sekali menyelesaikan pekerjaannya. Bobby bukan orang yang hobi bermain mengenai pekerjaannya. Apa pun yang menjadi kecintaan pria itu, maka dedikasinya sangat tinggi untuk ia selesaikan. Termasuk ini.

Proyek jangka panjang yang kini melibatkan banyak pihak. Omset yang tengah Bobby perhitungkan membuat Barra tampak terkejut karena tak menduga akan sebanyak ini. Usaha keras Bobby memang layak mendapatkan apresiasi.

"Gue enggak sangka kalau kunjungan lo ke rumah Maudy bakalan seperti ini," kata Barra yang mendadak membuat fokus Bobby sedikit berkurang.

"Kenapa memangnya?"

"Lo bilang cuma kunjungan biasa. Enggak bawa orang tua dulu. Lo belum kasih tau Maudy juga, kan, kunjungan lo kemarin?"

Pena yang tengah Bobby gunakan untuk membuat laporan di gadget canggihnya ia letakkan perlahan. "Gue pikir juga tadinya hanya sebatas kunjungan biasa. Memperkenalkan diri kalau gue ini laki-laki yang kencani anaknya. Enggak lebih dari itu. Tapi begitu membahas latar belakang, gue enggak lagi dalam mode main-main."

"Dan gue juga enggak sangka temuan apa yang kita dapatkan."

Bobby mengangguk. "Gue rasa ini bukan masalah sepele, Barra. Kita hanya tau lapisan luarnya saja. Meski Herdiyanto enggak lagi ikut campur sama karesidenan, tapi Herdiyanto tetap mendapatkan tempat di sana. Makanya Om Rustam agak kaget begitu gue sebut nama Silvia Ayuwening."

"Lo percaya?"

Bobby menggeleng tegas. "Gue yakin ada sesuatu di dalamnya."

"Kita mesti hati-hati untuk mencari info lanjutan, Bobby. Ini menyangkut banyak nama keluarga di Surakarta. Enggak gampang untuk mengungkapkannya."

Bobby setuju. "Makanya gue langsung bergerak cepat. Gue berharap banget orang-orang di sekitar gue bisa dipercaya dan mampu mengumpulkan informasi yang gue butuhkan."

"Kita pantau terus, Bob. Ini masalahnya enggak sesepele yang terlihat."

Kembali Bobby mengangguk setuju. "Karesidenan Surakarta itu indah, Barra. Lo tau itu dengan pasti, kan? Siapa yang enggak terpukau dengan pesonanya? Tapi kembali lagi, yang indah belum tentu dalamnya indah. Iya, kan?"

"Iya, gue setuju sama lo."

"Itu lah kenapa pada akhrinya gue tau kenapa Mommy milih keluar dari karesidenan."

Barra mengangguk paham. "Untung Papa juga keluar dari sana. Memilih bebas dan melebarkan sayap sendirian biarpun, yah ... lo tau kan banyak mata yang mandang Papa remeh? Apalagi Mama begitu. Nyentrik. Mereka sudah enggak peduli dengan nama belakang. Cukup Herdiyanto yang dipakai tapi pada akhirnya, Herdiyanto punya tempat tersendiri di kalangan bisnis Indonesia."

Bobby tergelak. "Makanya Om dan Tante Rere panutan gue banget untuk hidup bebas tapi tetap terarah. Gue enggak pernah bisa menyingkirkan nama Diningrat, kan? Tapi gue punya pilihan mengenai hidup yang akan gue jalankan. Pada kenyataannya juga, Mommy bahagia. Nyokapnya Maudy, gue lihat bahagia. Dia berhasil membentuk diri Maudy apa adanya."

"Iya, yang lagi kasmaran semuanya perfect. Yang lain hanya numpang hidup di sekitar kalian yang lagi berbunga-bunga."

"Alah!" Bobby mencibir. "Lo enggak lupa berbagai macam keluhan Regi tapi semuanya dimaklumkan atas nama cinta?"

Barra terkekeh jadinya. "Cinta membuat banyak kekurangan menjadi kelebihan, Bobby. Makanya gue seperti ini."

Tangan Bobby mengibas pelan. "Gue mau cepat mengerjakan proyek ini. Lo jangan ganggu. Kerjakan saja bagian lo termasuk memastikan Mommy sampai di Jakarta malam ini. Besok pagi gue mau bawa dia ke rumah Maudy."

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang