[2] Bobby yang Reseh

5.5K 883 122
                                    

Dalam hidup seorang Maudy Senandika, tak pernah ia merasa semarah dan sekesal ini. Sudah berlalu seminggu sejak liburan yang seharusnya menyenangkan tapi malah hancur karena ulah asisten berengsek bos besarnya itu. Gemuruh amarah Maudy tidak bisa padam entah kenapa. Ditambah semesta seperti mengejeknya untuk terus bertemu dengan sang penyulut emosi.

Bobby Rennes.

Awal perkenalan mereka biasa saja, Maudy merespon dengan baik karena selain si Bobby ini orang kepercayaan Barra Herdiyanto, dia juga banyak mengurus keperluan kantor. Bahkan kalau Maudy boleh katakan, lebih banyak Bobby yang tahu mengenai alur dan kinerja perusahaan ketimbang Barra. Benar adanya yang Regi katakan kalau Barra ini hanya sebagai penentu keputusan akhir.

Pemilah utama adalah Bobby. Kalau Bobby tidak ada, mungkin Barra kelabakan bukan kepayang.

"Dy, lo beneran resign?" tanya Regi hati-hati.

Maudy hanya menoleh sesaat dan kembali melanjutkan aktifitasnya menonton serial kesayangannya. Sudah sejak pagi ia berada di rumah mewah Regi. Tidak pindah ke mana-mana selain memutar channel, mencari apa yang ia suka. Jangan lupa meminta sarapan ini dan itu pun camilan sebagai peneman.

Regi tidak pernah mempermasalahkan hal itu, kapan lagi bisa me time berdua dengan Maudy setelah sekian lama karena sibuk dengan urusan masing-masing. Regi sibuk melayani dan meladeni paduka raja Barra serta sang permaisuri kesayangan Rustam Herdiyanto, Rere. Juga sekarang ia harus mengurus anak kesayangan Barra, Love.

"Iya. Gue serius," sahut Maudy. Ia sudah memberi surat sebagai tanda dirinya mengundurkan diri, tiga hari lalu. Maudy bisa melihat dengan jelas wajah Barra terkejut mendapati surat itu benar-benar ia berikan. Pun asisten berengseknya itu. Yang sialannya ada di samping Barra mungkin sedang diskusi atau apa, Maudy enggan mencari tau.

"Lo sudah melamar kerja lagi?"

Maudy dengan enteng menggeleng. "Gue mau vacation dulu."

Bibir Regi mencebik. "Gaya lo."

"Serius. Gue capek. Niat resign itu udah ada lama, Rex, cuma belum ada pemicu utamanya." Maudy kini menoleh. Mendapati sahabatnya sibuk mengunyah kacang almond. Tubuhnya yang dulu langsing dan memesona, kini naik entah sudah berapa kilo. Katanya mendekati lima belas kilo, tapi herannya, wajah Regi glowing parah! Maudy sendiri sampai heran karena binar bahagia yang Regi punya sama sekali tidak meredup.

Apa menikah dengan Barra semembahagiakan itu? Pikir Maudy. Kalau dipikir ulang, Barra memang totalitas sekali memberi curahan kasih sayang dan cintanya pada Regi. Ia bisa merasakan hal itu dengan jelas. Maudy bersyukur setelahnya. Memang itu yang ia harapkan. Regi bertemu dengan orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus dan tidak mengharap imbal apa-apa selain cinta.

Regi sudah menemukannya.

Maudy? Nanti dulu. Menikah ada di urutan ke sekian dari prioritas hidupnya. Bukan perkara mudah menyatukan dua hati dan visi apalagi dengan tingkah Maudy yang sering dibilang bar-bar, urakan, kasar, dan tidak ada lembut-lembutnya.

"Dan sekarang ketemu pemicunya?"

Gadis berambut sebahu itu mengangguk yakin.

"Bobby?"

"Siapa lagi?"

"Bocah dasar lo!"

Kalau saja Regi tidak sedang dalam keadaan hamil, mungkin Maudy sudah memiting lehernya. Setengah mencekik atau apa lah yang bisa ia perbuat agar tidak bicara sembarangan mengenai Bobby. Ia benci dan tidak suka setengah mati! Jadi yang ia lakukan sekarang hanya mencibir dan mendelik tajam pada Regi. Sialnya, Regi acuh.

"Dia udah minta maaf belum sama lo?"

Maudy memejamkan mata sejenak. Letup marah yang tadinya sudah mereda, muncul kembali. Kali ini lebih parah ketimbang sebelumnya. Diingatkan mengenai permintaan maaf yang Maudy rasa tidak ada tulus-tulusnya itu, membuatnya mengingat adu bibir yang sangat ingin ia hapus dari ingatannya.

"Dy?" tanya Regi sekali lagi.

"Sudah."

Regi tersenyum puas. "Kalau dia enggak minta maaf sama lo, mau gue pecat jadi asistennya Barra."

Maudy mendengkus. "Lo buta atau gimana, ya, Rex? Bobby dan Barra itu sejoli. Biji enggak terpisahkan. Lengket banget. Lebih lengket ketimbang kita asal lo mau tau."

Kening Regi berkerut.

"Barra enggak ada Bobby, mampus dia. Secara segala apa-apa lebih tau Bobby ketimbang Barra. Ibarat hubungan pernikahan, Bobby itu istri pertama, lo istri muda."

Satu pukulan cukup kencang didaratkan Regi pada bahu Maudy. "Memang sinting otak lo, Dy."

Gadis itu cuma memasang tampang tanpa dosa.

"Dy, mertua gue datang." Regi langsung bangkit begitu mendengar langkah suara mendekat ke ruang santai. Maudy yang setengah rebah pun langsung duduk karena rasanya pasti tidak sopan. Ia pernah bertemu Rere Herdiyanto sebelumnya. Berharap sekali kalau wanita nyentrik itu tidak membahayakan hidup Regi. Dijahati misalnya.

Nyatanya tidak. Rere baik sekali pada Regi biarpun cerewet minta ampun.

"Hallo, Tante," sapa Maudy sok ramah. Begitu mereka saling bersitatap, Rere mengernyitkan kening. Mungkin pikirnya, siapa tamu sang menantu kesayangan yang mengunjungi sepagi ini.

"Ini Maudy, Ma. Sahabat Regi."

"Oh, Maudy." Rere menerima jabat tangan ramah dari mereka berdua. Mengingat-ingat siapa gadis ini karena pernah bertemu beberapa kali. Hanya saja, ingatannya agak kabur bukan berarti dirinya pikun. Bukan. Buat Rere, yang tidak berkepentingan dalam hidupnya, ia tidak butuh untuk mengingatnya.

"Tapi ... bukannya kamu ini bekerja di tempatnya Barra, ya? Kok, ada di sini? Enggak kerja?" Akhirnya ia bisa sedikir mengingat siapa sosok gadis ini. Saat Regi pingsan di mall, sahabatnya ini yang menemani. Bahkan terlihat sangat khawatir karena menantunya tiba-tiba drop seperti itu.

Maudy nyengir. "Enggak, Tante. Kemarin hari terakhir Maudy kerja."

Rere mengangguk saja. "Kamu sudah sarapan, Regi?"

Sang menantu menjawab dengan anggukan. "Tadi Mas Barra buat pancake cokelat."

"Mama mau buat puding buah. Kamu mau, Regi?"

Maudy melihat senyum semringah tiba-tiba hadir di wajah Regi. Pun anggukan penuh semangat diberi sebagai jawaban. Hal seperti itu saja sudah membuat ekspresi di wajah sang wanita nyentrik itu bahagia.

"Tante, Maudy bantuin boleh enggak? Enggak ada kerjaan." Maudy bangkit dari duduknya, berjalan agak buru-buru menyusul Rere. Hal ini membuat Rere menimang sejenak.

"Dapur aku enggak akan hancur karena Maudy, Ma. Dia lebih baik dari aku tentang dapur."

Senyum Rere terkulum. Jujur sekali Regi kalau bicara.

"Berengsek lo!"

"Aduh, Tante! Sakit!!!" jerit Maudy sangat terkejut.

"Jangan bicara kasar, ya, Maudy. Bibirnya nanti Tante lakban!"

Ini membuat tawa Regi menggema sempurna. Maudy yang melihat hal itu hanya melotot tajam ke arah sahabatnya itu. Sialan memang! Ia lupa, kalau Rere Herdiyanto selain cerewet juga hobi menguliahi seseorang. Termasuk tiba-tiba memberi cubit atau jewer sekiranya ada yang tidak sesuai dengannya.

Seperti saat ini. 

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang