[16] Bicara sama Malik harus konsentrasi, Dy!

3.5K 647 89
                                    

Hal yang mengasyikkan bagi Maudy kali ini bisa ia nikmati. Berjalan sendirian menikmati bulir pasir yang menyusupi jemari kakinya yang sengaja itelanjangi. Sneakers-nya ia tenteng pun celana panjangnya digulung hingga sebetis. Tak peduli sudah berapa lama kakinya disentuh oleh deburan ombak yang menyapa bibir pantai. Embus angin yang mengacak rambut Maudy juga tak dipersoalkan lagi, kok. Yang terpenting baginya sekarang, dirinya merasa jauh lebih tenang.

Walau tak bisa Maudy pungkiri, perjumpaan dengan Malik adalah salah satu dari sekian banyak doa yang terkabul.

Meski pertemuan dengan Malik selain sangat tak terduga juga cukup mengejutkannya. Namun Maudy menyadari pada akhirnya, kalau jarak mereka memang sudah terbentang takdir. Di mana masing-masing dari mereka menjalani hidup seperti garis suratan yang sudah ditentukan Tuhan. Maudy dengan hidupnya dan Malik dengan buntutnya.

"Aku mengakui cara pergiku egois saat itu, Dy, tapi keadaan memaksa aku untuk melangkah." Malik berkata sembari mengaduk sendok di gelas minumnya. Bunyi es batu yang beradu dengan permukaan gelas menjadi pengiring mereka bicara setelah makan yang disantap cukup banyak oleh Maudy ini. Benar yang Malik bilang kalau restoran ini menyajikan santapan yang menggugah selera. Maudy tak perlu sungkan untuk menambah porsi makannya.

"Yah ... mau marah juga percuma, kan? Dulu aku enggak ngerti kamu yang tau-tau menghilang tanpa kabar begitu saja. Tapi tahun ke tahun yang berganti, aku mulai mengerti, kadang pergi tanpa kata bukan karena tak menyayangi yang ditinggalkan." Maudy terkekeh, menatap lekat Malik yang ada di depannya. "Tapi karena takut ketegaran yang dipunya malah lemah karena ungkapan perpisahan."

Malik tergelak. "Aku baru tau kalau Maudy ternyata pandai merangkai kata. Kupikir hanya pandai merangkai bambu dan tali temali untuk membuat layangan."

Maudy mencibir ucapan Malik. "Sembarangan!"

"Banyak malam yang aku lewati dengan menekan rindu yang dalam sekali untuk Ibu, Bilqis, Rudi, Adam. Belum lagi Tania, Maura, Yudis. Kamu tau, kan, aku dekat dengan mereka." Malik mulai menurunkan tawanya. Matanya menerawang jauh pada sisi kanannya. Hamparan air sebiru langit yang deburannya pecah di bibir pantai kini ia nikmati. Mengingat masa lalunya memang terkadang menyesakkan.

"Mereka nangis saat tau kamu pergi, Malik," kata Maudy pelan. "Kita semua sedih saat kamu pergi. Tapi Ibu enggak. Kupikir Ibu enggak punya hati, ya, Malik," Maudy terkekeh tapi ada rasa sesak yang mendadak hadir di tenggorokannya. Membuat ia kesulitan untuk meneruskan bicara namun saat mata mereka kembali bertemu, Maudy membulatkan tekad. "Tapi aku yakin Ibu yang paling sedih saat tau kamu pergi."

Malik mengangguk pelan. "Aku berjuang keras, enggak peduli orang lain bilang apa. Enggak memikirkan diriku sendiri. Yang ada di kepala aku cuma Ibu dan anak-anak, Dy. Aku harus berjuang untuk mereka. Minimal kalau aku punya uang, Ibu enggak perlu susah mencari donator untuk panti. Enggak perlu repot-repot dan pusing memikirkan uang sewa panti."

Sekelebatan ingatan Maudy tertarik pada satu sosok yang masih lekat di kepalanya. Ibu. Nama lengkapnya Ningrum Linda Sari. Sosok wanita paruh baya yang menyayangi semua anak asuhannya. Tatapan seteduh naungan yang sangat nyaman. Sorot matanya menyiratkan ketulusan yang besar. Belum lagi caranya melempar kasih sayang. Bahkan Maudy si remaja kesepian yang tersasar ke panti tak luput dari rengkuhan perhatiannya.

Wanita paruh baya yang selalu mengenakan gamis berwarna netral lengkap dengan penutup kepala cukup lebar memang favorit semua anak panti termasuk Maudy. Ia menganggap sosok Ibu adalah ibu keduanya setelah Mami. Kala itu Mami sibuk bekerja demi menghidupi mereka berdua setelah kepergian sosok pria yang dipanggil 'Bapak' dalam hidup Maudy.

"Makanya, Dy, aku berjuang keras di Kalimantan. Aku harus bisa sukses bagaimanapun caranya."

"Enggak halal, dong?" seloroh Maudy yang langsung mendapat delikan tak terima namun berujung tawa dari Malik.

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang