[7] Maudy dan segala fasilitas mewahnya

3.5K 630 89
                                    

Sebenarnya Maudy ini tak memiliki cukup banyak kebeRinaan apalagi berkelana sendirian. Tapi, sekali lagi ... ia tak peduli. Kenekatannya ini memang untuk pertama kalinya. Diacuhkan larangan sang ibu sekali ini saja. Segala macam bentuk ucapan ibunya mengenai keadaan Bali dan kejahatan di luar sana, bagi Maudy macam nyanyian tak berguna. Lantaran keinginannya begitu kuat untuk sejenak menyingkir dari penatnya aktifitas yang menggelung tubuh berapa tahun belakangan.

Iya ... Maudy Senandika berada di titik jenuh.

Di mana ia harus singkirkan dengan segera agar dirinya kembali bersemangat.

Apa Herman langsung setuju pengunduran dirinya? Oh ... mereka sampai berdebat alot dulu baru Herman menandatangani surat itu. Maudy ingat betul bagaimana tampang sang bos yang mencibirnya, menguliahinya, menasihatinya, bahkan menawarkan kenaikan gaji meskipun masih dalam tahap negosiasi. Kalau Maudy katakan, "Ya udah, Bapak ajuin aja dulu. Kalau Bos Barra setuju, aku pertimbangkan." Mungkin saja Maudy sudah kembali berkutat dengan brosur price list serta banyak data customer yang ia tangani.

Sayangnya Herman masih ragu untuk menyuarakan hal itu di depan Maudy. Takutnya ia mengambil tindakan tanpa persetujuan dari Barra Herdiyanto.

"Memang rencana kamu apa?" tanya Herman sekali lagi.

"Ngabisin uang bonus," Maudy benar. Memang itu tujuannya refreshing. Tiga bulan lalu targetnya achive 100%. Pundi uangnya masuk dalam nominal yang membuatnya terperangah tapi kemudian, bayang dirinya mengenakan bikini di bibir pantai yang memanggang kulitnya sampai eksotis itu terus menari. "Lagian, ya, Pak. Maudy resign itu justru bagus, kan? Biar yang lainnya sampai target gitu. Enggak bosan apa namanya Maudy terus yang muncul."

Herman sekali lagi berdecak. "Kalau bonusmu habis apa yang mau kamu lakukan?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Maudy tergelak. Heboh sekali. Yang mana tanpa sadar ia mengatakan hal yang sangat di luar dirinya sekali. "Nikah dengan orang kaya, Pak. Biar enggak habis-habis uang saya."

"Lho? Kamu sudah punya pacar? Yang mana pacarmu, Dy? Saya enggak tau? Jangan bilang seperti Regi yang tau-tau nikah sama anaknya pemilik showroom."

Maudy makin ngakak.

"Terserah kamu lah mau berbuat gimana tapi ingat," peringat Herman segera. Tak peduli kalau Maudy masih terbahak di depannya. Hanya Maudy yang sering ia izinkan bertingkah aneh begini. "Kalau kamu butuh pekerjaan lagi, Fatmawati tetap menerima kamu."

Maudy, yang kali ini menghentikan tawanya sejenak, menatap sang bos lekat. Lalu mengangguk patuh layaknya seorang anak yang menuruti perintah sang ayah.

Dan di sini lah ia sekarang. Keluar dari pintu kedatangan dan menyusuri area bandara Ngurah Rai dengan hati berlipat senangnya. Senyumnya saja lebar sekali mirip orang menang lottere besar. Langkahnya juga lebar dan ringan macam tak memilik beban apa pun selain koper besarnya yang ia seret gembira. Tapi ...

"Mbak Maudy?!"

Kepalanya otomatis menoleh dong karena dipanggil. Begitu matanya menatap orang yang meneriaki namanya, ia melotot sampai rasanya mau jatuh dari cangkangnya. Astaga! Ini pasti ulah Barra! Atau T-rex?!

Di mana ada seseorang yang menjemputnya. Pria mengenakan penutup kepala khas Bali. Juga dua orang lainnya yang sama-sama heboh mengangkat satu papan nama bertuliskan nama Maudy Senandika dengan tulisan besar. Itu belum seberapa dibandingkan saat mereka bertiga terteriak agak keras memanggil namanya. Hampir kebanyakan yang berjalan di samping Maudy menoleh dan memberi tatapan aneh pada gadis yang mengenakan jeans ketat serta kaus longgar itu.

"Iya, Pak." Ketimbang ia tambah malu, Maudy melangkah segera pada sosok itu.

"Saya diminta Bu Regi untuk jemput dan memastikan Mbak Maudy tiba di villa. Makan siang juga sudah siap, Mbak. Oiya, selama di Bali ada satu mobil yang sengaja dipersiapkan untuk Mbak. Bu Regi bilang, Mbak Maudy enggak boleh nyetir sendirian. Harus ada guide."

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang