[24] Makan siang bersama Nimas

2.9K 638 97
                                    

Makan siang yang Bobby hadiri kali ini dengan sangat terpaksa, berlangsung lancar. Tak banyak yang ia tanggapi dari pertanyaan seputar dirinya dan pekerjaan yang tengah ia geluti. Kebanyakan juga apa yang Nimas tanyakan sekadar berbasa basi. Kendati demikian, Bobby tak bisa menampilkan raut wajah tak suka di sini.

"Sepertinya Mas Bobby sibuk sekali, ya."

Gerak Bobby memperhatikan ponsel di mana ada email balasan dari salah satu proyek yang ia kerjakan, terhenti. Matanya sejenak menatap lawan bicaranya lalu mengedikkan bahu. "Yah ... begitu lah. Selalu sibuk."

"Padahal aku sengaja meluangkan waktu untuk Mas."

Bobby terkekeh. "Terlalu buang-buang waktu, Nimas." Cangkir kopi pesanan Bobby pun kembali ia nikmati. Jamuan makan siang tadi pun tak terlalu banyak ia isi perutnya. Entah kenapa ia sudah merasa kenyang. Mungkin karena siapa yang menemaninya makan, membuat selera makannya turun jauh. Padahal restoran yang ia kelola bersama Barra, teruji klinis bisa membangkitkan selera makan Bobby terutama masakan khas Surakarta: tengkleng.

"Kenapa Mas berkata seperti itu?" tanya Nimas dengan sorot bingung. Sejak pria yang ada di depannya ini duduk, sesekali membalas pertanyaannya, gadis cantik berkulit kuning langsat ini tau kalau ada keengganan tersendiri dalam diri Bobby menemuinya di sini.

"Saya sibuk, Nimas. Dan kamu juga bukannya punya pekerjaan lain?"

"Kebetulan pekerjaannya juga ada di sini. Cabang Yayasan Cinta Kasih pun baru dibuka di Bali sekitar tiga atau empat bulan lalu dan itu prakarsa dari aku, Mas."

Bobby hanya mengangguk. "Saya balas email dulu. Kamu teruskan saja makannya."

"Mau ke mana kamu, Nak?"

Pria itu mendongak sekilas. "Pekerjaan ini enggak bisa ditunda, Pa. Sebentar saja." Tak peduli kalau tampang sang ayah sudah kaku dan menatapnya tajam, Bobby tetap bergerak menjauh. Terdengar helaan napas kasar dari Wicak lantaran kelakuan anaknya siang ini.

Sampai punggung itu berdiam di salah satu sudut restoran di mana ada dua orang berseragam khas restoran yang menghampirinya, Nimas mengatupkan bibir. Menekan perasaan terabaikannya di sini karena sikap Bobby barusan. Tapi ia tak boleh menampilkan raut wajah tak suka. Terbiasa menutup apa yang ia rasakan dengan seulas senyum, sudah biasa ia lakukan. Menyesap secangkir teh melati yang disediakan khusus untuknya, ia berusaha mengalihkan pikirannya dari sosok Bobby.

Nimas pernah bertemu dengannya saat ia masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kala itu sosok Bobby Rennes sudah mencuri perhatiannya ketika makan malam keluarga besar Diningrat. Hampir keseluruhan keluarga bangsawan keturunan Diningrat menghadiri acara tersebut. Termasuk di dalamnya orang-orang yang berpengaruh bagi keluarga bangsawan terpandang di Surakarta ini.

Di mata Nimas muda saat itu, sosok Bobby begitu menawan. Dipatri dalam hatinya, siapa tau kelak ketika ia dewasa bisa berkenalan dan setidaknya bisa bicara layaknya teman. Tahun berlalu, sosok Bobby tak menyingkir jua dari hatinya. Berusaha memantaskan diri sebagai keturunan Bringharja siapa tau saja, keberuntungan berpihak padanya.

Dan saat ia disodorkan perkara jodoh, Nimas tak menolak sama sekali.

Malah dengan senang hati menerima perjodohan yang sangat ia hindari ini demi Bobby Rennes.

Akan tetapi, ternyata sulit mendapatkan perhatian dari pria yang ternyata bersikap dingin dan lebih sering mengabaikannya.

"Maafkan Bobby, Nimas."

Pegangan pada cangkir teh Nimas hampir saja tergelincir tapi ia berusaha menguasai keadaan. Sekali lagi ia ulas senyum tipisnya di bibir berpemulas soft pink ini. "Enggak apa, Om. Mas Bobby memang bilang lagi sibuk sama pekerjaaannya."

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang