[23] Sang tuan tanah

3K 674 77
                                    

Maudy mengerutkan kening begitu mendengar pesan suara yang baru aja masuk ke dalam ponselnya. Agak lama ia menimbang sebelum akhirnya ia geser icon telepon untuk sekadar menyapa barang sesaat sosok yang tadi ia perhatikan.

"AUNTY!!!"

Refleks Maudy menjauhkan ponselnya. Anak ini! Dumelnya dengan geram tapi langsung mengganti rasa kesalnya dengan senyuman. Jangan sampai ia terdengar tak suka menanggapi telepon yang baru saja masuk ini. terutama setelah ia mendengar kiriman dari Aish. "Kamu kenapa nangis?"

"Aunty! Aku mau Aunty!"

"Aunty kan di Bali. Gimana cara ketemu kamu, Aish?"

"Susulin aku, Aunty. Aku enggak mau pulang ke rumah.," rengek gadis kecil itu.

"Ya pulang aja ke rumah mama kamu."

"Enggak mau juga."

"Lah, terus kamu maunya di mana?"

"Sama Aunty."

"Mana bisa." Maudy tergelak. Membuat Joko yang tengah menyetir langsung menoleh ke arahnya. Jadinya Maudy meringis lagi dan kali ini disertai rasa malu. Sedikit.

"Bisa. Aunty susul aku ke sini, ya. Nanti Papa jemput."

Modus lama. "Papa kamu mana?"

"Ah, Aunty enggak asyik. Katanya kita teman." Aish sedikit menormalkan suaranya dari isak yang baru saja bisa ia kendalikan.

"Kalau teman enggak boleh berbohong, Aish."

"Aku enggak bohong, ya, Aunty. Aku memang enggak mau sama Mama. Papa juga, sih. Papa sama Mama itu sama, Aunty."

Iya juga, sih. Aish pernah mengeluhkan hal ini padanya saat bermain pasir kala itu. Juga terulang lagi keluhannya ketika merea menghabiskan waktu bersama. Meski Malik berusaha keras untuk mengakrabkan diri lagi dengan Aish, rasanya Maudy seperti dilempar pada masa kecilnya. Beruntung Bu Ningrum selalu menasihatinya agar tak marah pada sang ibu lantaran sibuk bekerja. Tak menyalahkan siapa-siapa termasuk kepergian ayahnya di mana ia masih butuh sosok pria itu.

"Bilang apa yang kamu inginkan sama Papa, Aish. Jangan seperti itu. Kamu anak perempuan pemBerani. Aunty tau itu."

"Tapi kalau Aish ditinggal lagi?"

Ah, bocah yang malang. Kasihan Aish selalu merasa sendirian. Maudy hitung, sudah hampir seminggu artinya Aish berada di Surabaya apa hal itu tak menjadikannya memiliki 'teman'? Seharusnya ia bisa lebih akrab pada ibunya, kan? Tapi ... kalau Maudy boleh jujur, sosok ibunya memang menyeramkan. Jauh sekali dengan sosok Sisil yang lekat di hati dan pikiran Maudy. Bukan karena Sisil adalah ibu kandungnya tapi sosok seorang ibu yang mengasihi anaknya.

Seperti ada sebuah kepura-puraan dalam wajah ibunya Aish saat mereka bertemu di lobby hotel kala itu.

"Bukannya sebentar lagi Aish kembali ke rumah? Papa bilang gitu sama Aunty."

"Iya, sih." Di sana Aish menghela pelan. "Tapi kalau ditinggal lagi sama aja bohong, kan?"

Kasihan sekali nasib Aish. "Aish," Maudy mulai bicara dengan nada lembut. Memberi pengertian pada anak seusia Aish memang tak lah mudah. Apalagi kendala yang Aish alami ini bukan sembarang kesepian belaka. Sudah ayahnya sibuk dengan pekerjaan, ibunya pun tak kalah menyibukkan diri. Ditambah mereka berdua berpisah alias bercerai. Hal apa lagi yang membuat kesakitan pada diri seorang anak terutama saat pada akhirnya ia menyadari, orang tuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tanpa kembali merengkuhnya di malam hari karena sudah berpisah.

"Aish tau, kan, Papa kerja?"

"Tau," sahut Aish dengan cepatnya. "Aish sering lihat Papa kerja, kok."

Drive Away From MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang