Bobby mengernyit ketika Barra menyerahkan satu berkas padanya. Penuh teliti ia baca satu per satu kata yang ada, hingga... "Serius Maudy resign?"
"Lo tanya gue?" tanya Barra dengan nada yang sudah tak enak didengar. "Laporan dari Regi bilang, ini semua salah lo."
Bobby makin melongo. "Kok, gue?"
"Ya, lah! Kalau bukan karena lo yang nyari ulah sama Maudy, pasti anak itu enggak resign."
"Kok, gue?" tanya ulang Bobby. Ia tak menyangka kalau dirinya dijadikan sasaran empuk untuk disalahkan lantaran adanya surat yang ditandatangani oleh Maudy langsung. Surat pengunduran resmi dari gadis bermulut kacau versi Bobby itu.
Apa yang salah dari dirinya? Tidak ada. Dan kenapa juga bos alias sepupunya ini malah menyalahkan? Gila saja!
"Lo sudah minta maaf ke dia?"
Bobby mengangguk tegas. "Bahkan muka, lengan, perut, dan bagian tubuh gue menjadi saksi, betapa minta maaf sama dia itu luar biasa menegangkan."
Barra sebenarnya agak prihatin dengan nasib Bobby, tapi ia tak akan tinggal diam. Maudy buat Barra ini aset berharga. Biarpun bibirnya terlalu tajam kalau bicara, penjualan mobil di showroomnya selalu dijuarai oleh nama Maudy Senandika.
Ia sendiri heran, bagaimana cara gadis yang sebenarnya periang itu melobby para calon customernya.
"Gue enggak mau dia resign, Bobby." Barra mendekat ke arah sepupunya, menepuk pelan bahu seraya berbisik, "Kalau lo enggak berhasil bawa dia balik lagi ke sini, lo gue pindahkan."
Bobby mengerjap. "Eh, bos sialan! Gue resign aja kalau begitu!"
Sontak, Barra tergelak cukup kencang. Bobby memilih mengabaikannya dan langsung ke luar ruangan tanpa perlu berpamitan. Kenapa juga dirinya yang harus membawa kembali seorang Maudy? Memangnya tidak ada sales lain yang berkualitas? Memang, Bobby sendiri akui kalau gadis Kacau itu secara profesional bekerja, patut diacungi jempol. Andai Bobby tidak tahu betapa bibirnya selalu mengeluarkan bisa serta setajam silet, mungkin Bobby akan memikirkan ulang kata-kata Barra tadi.
"Siang, Pak Bobby," sapa Iva, pegawai HRD yang berpapasan dengannya saat menuruni tangga.
"Siang, Bu."
Bobby baru saja melanjutkan langkah sebelum akhirnya terhenti karena ucapan Iva.
"Pak, nanti saya butuh approval Pak Barra untuk surat pengunduran diri Maudy, ya."
"Oh, oke."
Segala macam surat yang membutuhkan tanda tangan Barra, memang Bobby yang sortir. Bukan apa. Kadang, ada satu dua berkas yang ternyata berkaitan dengan restoran yang ia kelola. Walau sudah memiliki orang kepercayaan—yang lagi-lagi Bobby juga yang memantau sementara Barra hanya tinggal membubuhkan tanda tangan. Kalau saja bukan karena gaji serta bonus yang diberi bisa menunjang hidupnya, Bobby sudah pastikan tidak mau kerepotan mengurus Barra yang lebih sering seenaknya ketimbang enak untuk dirinya.
Kembali ia menuruni tangga, tujuannya kali ini ke kantor Barra yang lain. Dika, orang kepercayaan Barra untuk restorannya ini mau berdiskusi panjang mengenai pembukaan cabang di Garut. Katanya prospeknya bagus tapi tetap saja Bobby harus terjun langsung ke lapangan sekadar memastikan.
Ia membuka ponsel pintarnya, menatap sejenak jadwalnya serta Barra. "Ck! Kenapa tadi gue enggak bilang Barra, ya?" Ingin berbalik, tapi Bobby rasa percuma. Barra pasti sudah sibuk meeting dengan sales. Ia tahu, omset bulan ini sedikit turun. Barra harus memutar strategi lain agar masih berada di ambang normal.
Lebih baik ia sesuai dengan rencana awal; meeting dengan Dika, share jadwal baru untuk Barra, menyortir banyak dokumen di esok hari, dan persiapan ke Garut. Pertemuan dengan Dika pun akan membahas masalah restoran di Garut. Ia harus menemukan jalan keluar yang cepat sebelum semakin pusing dibelit banyak deadline.
Kadang, Barra ini ajaib luar biasa menurut Bobby. Pintar adu strategi dengan showroom lain walau di balik layar seorang Rustam herdiyanto, tapi memilih usaha sampingan memiliki banyak restoran food. Belum lagi memasuki area hotel juga resort dalam hal dekorasi. Sangat bertolak belakang dan keduanya sukses direngkuh.
Itu lah yang membuat Bobby betah berlama-lama ada di bawah penindasan Barra. Setidaknya hingga detik ini sudah banyak sekali ilmu yang bisa ia pelajari dari Barra. Jikalau nanti dirinya sudah bosan bekerja pada Barra yang menyebalkan tapi sangat setia saudara, mungkin banyak opsi yang bisa dikerjakan Bobby termasuk membuka usaha dengan cara yang Barra lakukan.
Baru saja akan memasuki SUV-nya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Barra. H: sent a picture.
Lo kudu makan malam di rumah. Mama sama Regi masak banyak. Lo meeting langsung balik ke rumah. Awas lo enggak datang, gue sumpahin kena pecat atasan.
Beruntung Bobby tidak sedang minum, makan, atau mengunyah sesuatu. Kalau iya, tersedak adalah hal yang paling pertama akan terjadi lantaran jelas sekali ia melihat foto yang otomatis masuk ke ponselnya.
Maudy, si Gadis Kacau, berpose dengan cengiran lebar sembari memegang piring lebar berisi ikan bakar. Di sampingnya ada Regi yang makin bulat pada bagian pipi dan anggota badan lainnya karena kehamilannya itu.
Menggeleng pelan dengan isi chat absurd Barra. Dipecat atasan? Sebenarnya atasan Bobby siapa, sih? "Enggak ada kabar yang lebih buruk dari ini?" keluh Bobby yang tak berniat membalas pesan Barra.
***
"Maudy enak banget bikin sambelnya. Mama sampai nambah," puji Rere tulus. Di depannya, gadis yang memang sepertinya sudah terbiasa berkata seenaknya ini malah tertawa.
"Aduh, Tante. Nanti Tante ketagihan aku yang repot."
"Dia cuma bisa bikin sambel, Ma. Yang lain enggak bisa," cibir Regi seenaknya. Saat Maudy melirik, sambal buatannya justru paling banyak ada di piring sahabatnya itu.
"Eh, lo jangan kebanyakan gitu. Sakit perut baru tau rasa!"
Mendengar perkataan itu, sontak mata Rere menuju ke arah Regi yang kini menciut. "Regi." Rere memberi peringatan.
"Iya, Ma. Tapi kalau makan pakai sambel gini, aku selera banget," cicit Regi pelan. Sejak kehamilan ini, Regi benar-benar diperhatikan asupan makannya. Rere sudah cerewet ditambah makin cerewet lantaran Regi yang memang bandel mengenai makan. Selalu ingin makan yang pedas dan gurih. Sudah diberitahu mengenai dampaknya, tetap saja Regi enggan peduli.
Alasannya, "Aku enggak bisa makan kalau dibatasi makan sambel."
"Jangan over!"
Regi cemberut saja. Menaruh kembali setengah dari sambel yang ada di piringnya.
"Nanti kalau Tante memang suka, Maudy buatkan di toples-toples kecil gitu, ya. Pakai cumi kecil gitu, Tante suka?"
Mata Rere langsung berbinar terang sekali. Kalah bintang di langit dan seperti mendapatkan sesuatu hal yang sangat ia nanti, "Mau! Mau banget! Beneran kamu mau buatin Tante, Maudy?"
Maudy mengangguk girang. "Iya, dong."
Mereka makan siang bersama diseling banyak tawa juga gurauan mengenai banyak hal. Ternyata Rere ini biarpun agak ketus menurut Maudy, tapi kentara sekali tulus sayang pada Regi.
"Maudy bisa masak apalagi?"
"Apa, ya, Tante?" Maudy tampak berpikir.
"Jangan panggil Tante, ah. Mama. Biar sama kayak Regi."
Maudy sukses terbatuk keras. "Duh, Tante! Kasih sein dong kalau mau ngomong."
Rere melongo.
"Ya kali aku mau dijadikan istri kedua Barra. Ogah!"
"Gue juga ogah berbagi laki!"
"Sakit, Rex! Anjir!" Maudy mengusap kepalanya yang terkena pukul Regi tanpa aba-aba.
"KALIAN!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Drive Away From Me
RomanceKisahnya Maudy-Bobby Spin off dari story Bos Tampan vs Kacung Songong *** Kata orang, jangan membenci terlalu dalam. Jika bom cinta jatuh, repotnya tak tanggung-tanggung. Tapi Maudy terabas kata-kata itu. Bagaimana bisa timbul cinta kalau dibuat jen...