○ 2

376K 34.3K 3.2K
                                    

"Kak?"

Ara menoleh pada bundanya, yang baru saja membuka pintu kamarnya. "Kenapa, bun?"

Lia—bunda Ara—mendekati putri sulungnya itu. Ia mngusap surai hitam yang sangat lembut dan terawat, milik Ara. "Bunda mau ngobrol sebentar. Kamu ada waktu?"

Ara mengangguk sekali. "Dibalkon aja, bun."

Balkon kamar adalah tempat favorit Ara. Saksi bisu yang menyaksikan dan mendengarkan keluh kesah Ara selama menjalani hari-harinya. Balkon kamar yang menjadi tempat kenangan dirinya bersama sang ayah yang sudah kembali kepada Allah, 2 tahun lalu. Tepat saat dia memasuki bangku SMA.

Ara dan Lia duduk bersisihan dikursi kayu yang ada dibalkon Ara. "Mau ngomong apa, bun?"

Lia menoleh, menatap Ara. Ia menghela nafas pelan, dan menyunggingkan senyum hangat kepada putrinya. "Maaf ya, bunda belum bisa adil sama kalian."

Ara mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"

Lia menggenggam tangan kecil milik Ara. Tangan gadis kecilnya yang selalu membantunya mencari uang untuk hidup mereka. "Bunda minta maaf, kak. Bunda udah usaha semaksimal bunda, untuk jadi orang tua tunggal yang adil sama kalian berdua. Kakak dan Dita adalah putri bunda. Bunda sayang sama kalian berdua. Bunda gak ada maksud apapun untuk membuat kakak merasa tersisihkan." Lia meneteskan air matanya.

Sulit untuk dirinya berdamai dengan keadaan. Hidupnya yang dulu selalu berkecukupan, karna sang suami masih bekerja mapan, terpaksa menjalani hidup serba kekurangan. 8 tahun lalu suaminya bangkrut, karna ditipu rekan bisnisnya. Dan 2 tahun lalu, suaminya pergi meninggalkan dirinya bersama kedua putrinya, untuk selamanya.

Mau tidak mau, kondisi ekonomi keluarga mereka menyeret Ara untuk ikut serta dalam membantu bundanya mencari uang. Lia yang bekerja sebagai tukang cuci, dan Ara yang bekerja sebagai pelayan disebuah restoran. Lia sempat melarang Ara, dan meminta putrinya itu untuk fokus pada sekolahnya saja. Tapi Ara menolak, karna ia merasa harus ikut andil dalam mencari nafkah.

Sifat Lia yang sedari dulu memanjakan putri bungsunya, tidak hilang sampai sekarang. Justru membuat putri bungsunya tumbuh menjadi gadis pemberontak, dan tidak mandiri.  Semuanya, kini telah menjadi penyesalan terdalam untuk Lia. Merasa tidak becus dalam mendidik anaknya.

Ara memeluk bundanya. "Ara gak apa-apa, bun. Ara ngerti."

"Terimakasih, Ara sudah mau menjadi putri kebanggaan bunda."

Mereka menghabiskan malam ini dengan berpelukan, dan bercerita hal-hal yang membuat suasana menjadi hangat.

Terkadang, ada beberapa hal yang membuat kita sedikit kesal dengan orangtua. Tetapi, orang tua tetaplah rumah bagi anak-anak mereka. Mau sejauh apapun kalian pergi, seorang anak pasti akan kembali kepelukan orang tuanya.

***

"Selamat pagi, bunda."

Lia menoleh pada Ara yang baru saja turun dari tangga. "Pagi, kak."

Ara melirik Dita sekilas, lalu mendudukkan dirinya disamping kanan bundanya. Berhadapan dengan Dita yang tidak memandangnya sama sekali. Gadis itu hanya diam menunduk, mengunyah sarapannya pelan.

Ara menikmati sarapannya dengan tenang, sebelum suara seseorang yang ia kenali, mengintrupsi dari belakangnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Nak Riko. Kemarilah, sarapan bersama."

"Maaf ya tante, Riko langsung masuk." ucap Riko menyalami tangan Lia.

"Enggak apa-apa, anggap saja rumah sendiri. Duduklah disamping Dita. Tante siapkan sarapanmu."

"Ngrepotin ya, tan?"

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang