○ 6

333K 31.3K 870
                                    

"Setelah gue pikir-pikir, kenapa gue jadi ragu ya." gumam Ara, yang sedang duduk dikursi balkonnya.

Setelah Arkan pulang tadi, Ara tidak langsung tidur. Kepalanya kembali memikirkan tentang pembicaraannya dengan Arkan tadi.

"Disatu sisi, gue gak pengen umpet-umpetan. Tapi disisi lain, gue pasti bakal kena masalah besar."

"Gak bisa, gak bisa. Pernikahan gue gak boleh disebar luaskan! Gue harus ngomong sama dia." ucap Ara meraih ponselnya.

"Ara, cantik! Lo gak punya nomor telepon Mas Arkan!" rutuknya.

"Bunda punya gak ya?"

Ara berjalan menuju kamar bundanya yang ada dibawah.

Tok Tok Tok.

"Bunda, udah tidur?"

"Belum kak, masuk aja."

Ara membuka pintu kamarnya, dan menyembulkan kepalanya disela-sela pintu yang terbuka. "Bun?"

"Kenapa? Sini!"

Ara berjalan menghampiri bundanya, setelah menutup pintu. "Bunda punya nomor telepon Mas Arkan?"

"Kamu belum punya?"

Ara menggeleng. "Belum, lupa mau minta."

Lia meraih ponselnya yang ada di atas nakas. "Bunda gak punya nomornya Arkan, tapi bunda punya nomornya Tante Jihan. Kamu minta aja sama Tante Jihan."

Lia menyerahkan ponselnya yang sudah terhubung pada Jihan. "Bunda! Kok telpon Tante Jihan, sih?."

"Udah cepet dijawab, ini udah terhubung, loh."

Mau tak mau Ara menerima ponsel bundanya, dan mendekatkan pada telinganya.

"A-Assalamualaikum, tante."

"Oh, Ara. Waalaikumsalam, sayang. Kamu kenapa telfon tante malam-malam?"

Jantung Ara berdegup kencang. Ngomong sama calon mertua aja kayak mau ditembak mati.

"Maaf ya tante, Aku ganggu. Aku  mau minta nomornya Mas Arkan, boleh tan? Soalnya tadi lupa minta."

Ara dapat mendengar suara kekehan Tante Jihan diseberang sana.

"Ya boleh dong, Ara. Nanti tante kirimkan ke nomor kamu ya."

"Tante punya nomor telpon Aku?"

"Punya, tante minta bunda kamu. Ya sudah, habis ini tante kirim."

"Iya tan, terimakasih. Maaf mengganggu."

"Enggak apa-apa. Ya sudah, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ara menyerahkan ponsel bundanya. "Makasih ya, bun."

"Boleh bunda tanya sesuatu, kak?"

Ara menatap bundanya dengan bingung. "Mau tanya apa?"

"Kenapa kakak langsung menyetujui perjodohan ini?"

Ara menghela nafas pelan. "Anggap aja, aku menjalankan wasiat terakhir ayah."

Lia tersenyum menatap putrinya. "Bunda minta maaf, ya. Bunda selalu repotin kakak, dan sekarang, bunda buat kakak gak bisa menikmati masa muda dengan bebas."

"Udahlah bun, aku percaya ini emang jalan takdirku. Aku minta do'anya bunda aja."

Lia menarik kepala Ara untuk ia kecup. "Jangan begadang ya, besok kesiangan."

"Iya, bunda juga istirahat. Selamat malam bunda."

"Selamat malam, kakak."

Ara keluar dan menutup pintu kamar bundanya. "Kalau gue punya banyak duit, pasti gue gak akan merasakan kayak begini."

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang