Ara mengerjapkan kedua matanya perlahan. Cahaya matahari yang menerobos dari celah gorden jendelanya, membuat matanya menyipit. Ara melirik jam yang menggantung di dinding. Pukul 7 pagi.
Setelah sholat subuh tadi, Ara memutuskan untuk kembali tidur. Sedangkan Arkan, memilih untuk lari pagi.
Ara beranjak dari tidurnya, dan berjalan gontai menuju kamar mandi. Setelah menyuci muka, dan menggosok gigi, Ara turun menuju dapur untuk membantu Bi Inah menyiapkan sarapan.
"Kak Arkan mau minum apa? Teh atau kopi?"
"Enggak."
"Kak Arkan mau dipijitin?"
"Saya gak mau apa-apa, Tita. Lebih baik kamu pergi."
Ara menghentikan langkah kakinya ditangga terakhir. Ia melihat Tita yang duduk di samping suaminya, dan mendengarkan semua percakapan mereka.
Keningnya mengerut samar. Sudah dua minggu Tita tinggal di sini, dan selama itu pula Ara selalu mengawasi gerak-gerik Tita.
"Mas,"
Arkan mengalihkan pandangannya dari ponsel, dan menghampiri Ara. Dikecupnya dahi Ara dengan lembut, dan mengusap surai hitam milik istrinya itu. "Baru bangun?"
Ara melirik Tita sekilas, lalu mengangguk. "Kamu udah selesai jogging?"
"Udah."
Ara berjalan menuju dapur, diikuti Arkan yang mengekor di belakangnya.
"Nanti ke supermarket ya, Mas?" Ara membuka kulkas, dan mengeluarkan bahan-bahan yang akan ia masak.
Arkan mengangguk. "Sayang, ambilin aku air putih."
Ara baru saja ingin mengambil gelas, tapi sudah keduluan Tita, yang entah sejak kapan sudah menyusul dia dan Arkan ke dapur.
"Biar aku aja, Ra. Kamu lanjutin masak aja," katanya dengan tersenyum manis.
Ara membalas senyuman Tita, dan mengisi gelas yang sudah ia ambil, dengan air putih. "Gak papa. Mas Arkan suamiku. Sudah seharusnya aku melayani kebutuhan suamiku, kan?"
Senyuman yang tercetak dibibir Tita, perlahan memudar. Ia meletakkan gelas yang sudah ia ambil, dan menatap Ara canggung.
"Ma-maaf Ara, kalau aku lancang. Aku permisi dulu."
"Ya."
Ara menatap punggung Tita dengan tajam, lalu berbalik menuju dapur untuk meneruskan acara memasaknya. Sedangkan Arkan, dia hanya diam saja.
***
"Kamu mau apalagi?" Tanya Ara pada suaminya.
"Cari koyo, yang."
Ara berbalik menatap Arkan dengan kekehan kecil. "Koyo buat apa?"
"Sekarang badanku sering pegel-pegel."
"Faktor umur, itu Mas."
"Enggak. Aku pegel karna terlalu lama duduk waktu lembur."
Ara hanya menggelengkan kepalanya.
"Yang cabe apa yang biasa?" Tanya Ara mengangkat dua bungkus koyo yang berbeda merk.
"Yang cabe."
"Minyak urut juga gak? Ini bagus buat orang tua kayak kamu loh, Mas."
Arkan mendengus kesal. Oh, ayolah, usianya masih 27 tahun. Tapi, istrinya itu selalu menganggapnya seolah sudah berusia kepala 4.
Ara tertawa puas, saat melihat wajah Arkan yang menatapnya datar. "Bercanda ya, suamiku."
Setelah membayar belanjaan mereka, Arkan dan Ara kembali memasuki mobil untuk pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...