○ 52

202K 20.6K 1K
                                    

Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Dan sejak 2 jam yang lalu, pasutri yang sedang bermanja-manja di depan televisi itu tidak beranjak dari duduk mereka sedari tadi.

"Kamu belum cukuran, ya?" Tanya Ara, seraya mengusap rahang Arkan yang sudah ditumbuhi bulu-bulu kasar.

"Nanti, sekalian mandi."

Ara menyenderkan kepalanya di lengan Arkan. "Aku bosen, Mas. Kita keluar kemana gitu, yuk."

Arkan mengusap kepala Ara, dengan tatapan yang masih fokus ke layar televisi. "Kamu mau kemana?"

"Mall, pengen nonton di bioskop," pinta Ara.

"Iya, nanti kita ke mall."

Ara mengulas senyum lebarnya, kemudian beranjak dari duduknya. "Aku mandi dulu."

Arkan menggelengkan kepalanya, melihat tingkah istrinya yang seperti anak kecil.

Sebenarnya, tidak sulit untuk membahagiakan Ara. Dengan hal kecil seperti ini saja mampu membuat wanita itu senang. Namun, kesibukan Arkan yang menjadi seorang CEO, terlalu banyak menyita waktu kebersamaan mereka.

Arkan berjanji, dia akan mengambil cuti sebulan, mendekati persalinan Ara nanti. Dia akan menebus waktu kebersamaan mereka yang begitu singkat, beberapa bulan terakhir ini.

***

Ara menggenggam tangan suaminya dengan erat. Dia sangat senang bisa berjalan-jalan bersama suaminya, setelah sekian purnama. Padahal, beberapa hari yang lalu, mereka habis belanja bulanan sekalian pacaran.

Nyatanya, keceriaan Ara tidak bisa menular ke Arkan. Sedari tadi, pria itu sibuk melayangkan tatapan tajamnya pada laki-laki muda yang menatap istrinya dengan berbinar. Arkan heran, apa mereka buta untuk melihat perut istrinya yang seperti gentong itu?

Ara menatap suaminya yang tampak tampan dengan setelan ala anak mudanya. Kaos hitam, dipadukan dengan celana pendek berwarna cream, juga topinya yang berwarna senada dengan kaosnya. Dan jangan lupakan sandal jepit hitam yang menemani langkah pria itu.

Terlihat sederhana, namun siapa yang menyangka jika sandal tanpa label indodesember itu seharga 5 juta! Ara saja sempat mengomeli suaminya 3 hari 3 malam karna itu.

Ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Namanya aja sultan! Beda sama Ara yang beli sandal jepit seharga lima belas ribu aja udah kemahalan.

"Kamu duduk di sini dulu, aku pesen tiket sama camilan. Kalau ada laki-laki yang mau macem-macem sama kamu, tendang aja benda pusakanya. Biar hancur sekalian masa depannya," ujar Arkan pedas.

Ara berdesis. Sejak kapan ucapan Arkan itu tidak pedas? Awalnya aja sok manis, lembut gitu. Setelah menikah, Ara tau betapa beracunnya mulut Arkan. Cocok kalau dijadikan ketua geng bully di sekolahan.

Sekarang Ara sadar, jodoh memang cerminan diri sendiri. Ara si mulut pedas, dan Arkan si mulut beracun. Cocok sekali pasutri kita ini.

"Kenapa diam? Kamu berharap dideketin?"

"Ya Allah, Mas Arkan. Mulutmu kalau gak fitnah istrinya, kayaknya gatel banget ya!" Ara menatap kesal Suaminya itu. "Cepetan beli jajan sana! Istrimu ini udah lapar dan haus."

Arkan mencium kening Ara sekilas. "Jangan genit!" Setelah itu, Arkan pergi untuk mengantri di loket pembelian tiket.

"Heran. Dulu mama ngidam apa, sih? Dia kalau cemburu, mulutnya jadi seblak level lidah tetangga." Ara menatap punggung suaminya dengan gelengan kepala.

"Lagian, ngapain dia pake kaos tanpa jaket gitu? Kan ototnya jadi keliatan. Mana kaosnya hitam. Gak tau aja, kalau cowok pake baju hitam damagenya gak ada obat!" Gerutu Ara.

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang