"Wajah lo pucet banget sih, Ra? Sakit?"
"Emang gue bisa sakit?"
Evan menjitak kepala Ara. "Ya bisalah, dodol! Lo kan juga manusia biasa!"
"Evan, lama-lama lo kurang ajar ya! Ini kepala udah difitrahin loh!" amuk Ara, yang dibalas cengengesan oleh Evan.
"Dita gimana?" tanya Lala.
"Gak tau."
"Kemarin aja udah peluk-pelukkan kayak teletabis. Sekarang pura-pura bodoamat lagi." cibir Evan.
"Makanya punya sodara kandung, biar bisa ngerasain apa yang gue rasain."
"Ogah banget. Kalau gue punya adik, mending gue lelepin ke rawa-rawa biar temenan sama anaconda."
Lala memukul lengan Evan dengan terbahak-bahak.
"Dosa lo! Anak itu anugerah dari Allah, buat dijaga, dikasihi, dan dicintai."
"Lo mau punya anak?"
"Mau." jawab Ara santai.
"Ya udah buat! Punya suami ganteng dianggurin sih. Kalau diserobot orang, baru tau rasa!"
Ara memukul mulut Evan dengan garpu. "Gue colok nih! Ucapan itu do'a, Van. Kalau gak bisa ngomong yang baik-baik diem aja."
"Mampos!" cerca Lala sambil memeletkan lidahnya ke arah Evan.
Evan hanya menggerutu pelan. Selalu seperti itu. Kalau salah satu diantar dia dan Lala terkena siraman rohani Ara, pasti mereka akan saling mengejek.
***
Ara pulang dengan taksi, karna Lala dan Evan membawa motor. Tadinya mau naik ojol, tapi badannya ini tidak bisa diajak kompromi. Ara merasakan suhu panas yang keluar dari tubuhnya. Kepalanya juga sedikit pusing.
Setelah membayar taksi, Ara turun dan berjalan melewati gerbang rumahnya yang terbuka lebar. Ia melirik pos satpam dengan sedikit heran. Biasanya, di pos ada satpamnya yang bernama Pak Budi, tapi siang ini tampak sepi.
Ara mendongakkan kepalanya saat mendengar suara ribut-ribut dari teras depan rumahnya. Kedua matanya terbelalak kaget, saat melihat bundanya yang tengah menyerang Mawar. Ia juga melihat Pak Budi yang sedang berusaha melerai mereka.
Ara berlari menghampiri mereka dengan cepat.
"BUNDA LEPASIN!"
Lia melepaskan jambakan tangannya pada rambut Mawar. Ia menatap Ara yang berdiri melindungi Mawar yang sudah terisak dengan tampilan yang sudah acak-acakan.
"Apa yang bunda lakukan?"
"Harusnya bunda yang tanya sama kamu! Kenapa kamu cabut tuntutan dia?! Dia sudah membuat Dita masuk penjara, Ara!!" murka Lia pada putri sulungnya.
"Dita cuma satu hari di tahan, bun. Mawar juga satu hari. Mereka impas!"
"Dia sudah menjebak adik kamu! Dan sekarang, kamu justru membebaskan dia? Kamu lebih membela dia daripada adik kandung kamu? Hah?!!"
"Apa yang bunda bicarakan? Aku sudah membantu Dita keluar dari penjara."
"Tapi kamu juga membantu orang yang sudah menjebak adik kamu keluar dari penjara juga!"
Ara memejamkan matanya pelan. Rasa pusing yang menyerang kepalanya semakin menjadi-jadi.
"Bunda, Mawar tulang punggung keluarga. Aku gak tega lihat ibu dan adik-adiknya menderita."
"Tapi kamu tega melihat ketidakadilan pada adik kamu sendiri?!"
"Mawar hanya disuruh! Pelakunya bukan dia!" ucap Ara sedikit tegas, berharap perdebatan ini segera berakhir.
"Kamu memang tidak pernah sayang kepada adik kamu. Kamu egois!" Ujar Lia menatap Ara kecewa.
"Terserah apa yang mau bunda katakan. Aku selalu berusaha jadi kakak yang terbaik untuk Dita. Aku gak perlu laporan sama bunda, apa yang sudah aku lakukan untuk Dita. Karna itu percuma! Aku akan selalu salah dimata bunda."
"Kamu berubah, Ara. Sekarang kamu jadi perempuan yang sombong."
"Terserah bunda." Lirih Ara, dengan pandangan yang sudah buram.
Lia tersenyum getir. "Bunda kecew—"
"KAK ARA!"
Ucapan Lia terpotong dengan teriakan Mawar, saat tubuh Ara jatuh di hadapan mereka.
"Ara! Ara bangun!!" ucap Lia sambil menepuk-nepuk pipi Ara dengan keras.
"Tante, sebaiknya kak Ara segera dibawa ke rumah sakit."
Lia mengangguk. Ia meminta pada satpam rumah anaknya untuk mencarikan mereka taksi.
"Kak! Ara!" panggil Lia lagi, namun tidak ada balasan dari Ara. Air mata Lia luruh begitu saja, saat menatap wajah pucat Ara.
Beberapa menit kemudian, taksi datang. Mereka segera membawa Ara ke rumah sakit terdekat. Di jalan, Lia menelfon Arkan untuk menyusulnya ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Ara segera dibawa ke ruang IGD untuk diperiksa. Lia menunggu di kursi tunggu dengan resah. Mawar mendekati Lia, dan mengusap lengannya takut-takut.
"Kak Ara orang yang baik, tante. Dia pasti akan baik-baik saja."
Lia tidak menjawab ucapan Mawar. Ia hanyut dalam tangis yang membuat dadanya sesak.
10 menit kemudian, dokter keluar dari ruang IGD.
"Bagaimana kondisi putri saya, dok?" tanya Lia seraya berdiri.
"Pasien kelelahan, dan terlalu banyak pikiran. Sebaiknya, pasien dirawat di sini untuk beberapa hari ke depan, agar cepat pulih."
"Lakukan yang terbaik untuk putri saya, dok."
Setelah kepergian dokter, Arkan datang dengan keadaan kacau. Kemejanya berantakan, rambutnya juga acak-acakan.
"Ara gimana, Bun?"
"Kelelahan dan banyak pikiran." ucap Lia dengan nada bergetar.
Arkan menatap ibu mertuanya sedikit tak percaya. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Terlebih, di sini ada Mawar dengan tampilan berantakannya. Tapi, apapun itu, Arkan akan segera mengetahuinya.
"Saya akan menyelesaikan administrasinya dulu." Setelah itu, Arkan berlalu dari hadapan Lia dan Mawar.
***
Semoga sukaa! Jangan lupa baca ceritanya Jovan yaa 😍
Jangan lupa vote dan comment.
Mon maap kalo ada typo.
See you next part ❤
Semarang, 2 April 2021
Salam Indah♡
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...