○ 55

191K 19.7K 1.5K
                                    

PERHATIAN BAPAK-IBU, KAKAK-ADEK!

Tulisannya berantakan, karna part ini ditulis dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maklumi ya, udah dua minggu nggak nulis di sini hahaha.

Semoga kalian paham maksudnya ya! Happy reading♡

***

Ara melirik bundanya dengan wajah terkejut. "Pernikahan?"

Lia mengangguk. "Bunda gak mau anak adik kamu lahir tanpa ayah."

"Kenapa gak dari kemarin sih, Bun. Pake drama mau rebut suami aku pula," cetus Ara.

"Bunda minta maaf untuk itu."

Ara terdiam sesaat. "Tapi apa gak sebaiknya nunggu anak Dita lahir dulu baru nikah? Setauku, di agama kita, kalau hamil diluar nikah, gak boleh langsung dinikahin. Tunggu anaknya lahir dulu."

Mereka semua menatap Ara, kecuali Arkan yang hanya diam.

"Tapi terserah kal—"

"Aku setuju sama Kakak," potong Dita. Kemudian, dia menatap bundanya. "Aku masih bisa nikah sama Mas Axel, setelah anak aku lahir, Bun."

"Terserah kamu," ucap Lia.

Kini giliran Dita yang memberikan pengertian pada Axel. Sedangkan Ara sibuk dengan martabak yang ia letakan di atas meja, dan Arkan sibuk dengan ponselnya.

Lia sendiri hanya duduk melamun. Tangannya saling menggenggam dengan erat. Ara juga tidak buta untuk melihat kondisi bundanya. Wajah bundanya tampak begitu pucat dan semakin kurus.

"Bunda ke kamar sebentar. Kalian kalau mau makan udah Bunda siapin di meja makan."

Mereka menatap Lia yang berjalan pelan menuju kamarnya. Kemudian, kembali dengan urusan mereka masing-masing. Ara melirik Dita dan Axel sekilas, lalu beranjak dari duduknya untuk menyusul bundanya.

Ara menempelkan telinganya di depan pintu kamar bundanya. Ara mendengar suara sesenggukan. Apa bundanya tengah menangis? Menangis untuk apa? Karna pernikahan Dita diundur? Ah, Ara rasa bukan itu alasannya. Lia tidak mungkin sekekanakan itu.

"Kamu ngapain?"

Suara berat Arkan yang tiba-tiba datang, membuat Ara hampir saja terjengkang. Untung tangan Arkan sigap menahan pinggang istrinya dengan cepat.

"Kamu ngapain sih ngagetin!" bisik Ara dengan kesal. "Kalau mau dateng kasih tanda-tanda dulu. Jatuhin sendok, nendang meja, atau apa gitu kek."

"Kamu yang terlalu serius nguping."

Seakan tersadar sesuatu, Ara kembali menempelkan telinganya pada pintu lagi. Keningnya tampak mengerut, yang menandakan kalau dia tengah serius ingin tau apa yang terjadi dengan bundanya.

"Kam—" belum sempat Arkan menyelesaikan ucapannya, tangan Ara sudah lebih dulu menutup mulut suaminya.

"Aku gagal, Mas. Aku gagal jaga Dita. Aku mohon maafkan aku."

Kerutan pada kening Ara perlahan hilang. Ternyata bundanya tengah berbicara dengan mendiang ayahnya. Ya siapa lagi orang yang dipanggil 'Mas' oleh bundanya, kalau bukan ayahnya? Mungkin bundanya sedang menatap wajah ayahnya di dalam foto. Sama seperti dirinya saat rindu sang ayah. Sesaat Ara bisa bernafas lega, sebelum sebuah kalimat mampu membekukan tubuhnya.

"Aku sangat mencintaimu, Mas Heru."

Arkan hanya diam saja melihat ekspresi istrinya yang benar-benar terkejut. Dia juga mendengar semua itu, karna kamar-kamar di rumah ibu mertuanya tidaklah kedap suara seperti di rumahnya. Sangat mudah untuk mendengar sesuatu di sini, bisik-bisik sekalipun.

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang