Sore ini, Ara memutuskan untuk jogging sebentar di sekitaran komplek. Ia berhenti di taman yang tampak ramai. Banyak pedagang jajanan yang berjualan di sini, juga anak-anak kecil yang tengah bermain.
Ara membeli sebotol air mineral, dan siomay, lalu duduk di kursi panjang yang ada di taman itu. Ara sangat menyukai anak kecil. Entah kenapa, mereka seperti obat lelah bagi Ara. Melihat tingkah mereka, juga tawa yang lepas, membuat Ara terhibur.
Selama 6 bulan dia tinggal bersama Arkan, selama itulah sesekali Ara merasakan kesepian. Kalau dulu, dia tidak akan merasakan kesepian, karna waktunya habis untuk sekolah dan bekerja. Namun sekarang, dia tidak lebih dari seorang pengangguran.
Kadang kala Ara memutuskan untuk memasak, berkebun, ataupun pergi ke rumah Mbak Rani—tetangganya—untuk membunuh rasa sepi. Namun, lagi-lagi hal seperti itu sudah menjadi rutinitasnya. Membuat dia bosan.
"Tetangga baru ya?"
Ara mendongak, menatap seorang wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya.
"Boleh Ibu duduk?"
"Silahkan, Bu."
Wanita paruh baya itu mendudukkan diri di samping Ara. "Nama Ibu, Ratna," kata ibu itu, dengan mengulurkan tangannya ke arah Ara.
Ara membalas uluran tangan Bu Ratna dengan tersenyum manis. "Saya Ara, Bu."
Bu Ratna mengangguk, sambil melepaskan jabatan tangan mereka. "Kamu baru di sini?"
"Saya sudah 6 bulan tinggal di sini, Bu."
"Oh ya? Kenapa Ibu baru lihat kamu? Kamu tinggal di blok apa?"
"Iya, saya jarang main ke sini. Saya tinggal di blok A."
"Ohh, Ibu tinggal di blok C. Kapan-kapan mampir ke rumah Ibu, Ra."
Ara mengangguk sekali. "Insyaallah, nanti kalau ada waktu, saya main ke rumah Ibu."
Bu Ratna tampak tersenyum dengan lebar. "Kamu ke sini sama siapa?"
"Sendiri, Bu. Tadinya cuma iseng mau jogging sebentar, terus mampir ke sini. Ibu sendiri?"
"Ibu sama cucu. Itu, dia lagi main perosotan," tunjuknya pada seorang gadis kecil yang tengah tertawa lebar di atas perosotan.
"Kamu sudah menikah?" Tanya Bu Ratna, saat tak sengaja melihat cincin yang melingkar di jari manis Ara.
"Sudah, Bu."
"Ibu pikir kamu masih SMA," katanya masih dengan senyum hangat.
"Iya, saya masih SMA."
Bu Ratna tampak terdiam sebentar. "Perjodohan?"
"Perjodohan,"
Ucap mereka bersamaan, lalu terkekeh.
"Tidak apa-apa. Dulu Ibu juga menikah karna perjodohan. Tadinya Ibu gak mau, karna Ibu baru lulus sekolah. Ibu mau kerja dulu, cari uang yang banyak. Tapi, orang tua Ibu tidak mengizinkan. Awalnya pernikahan kami sangat kaku, karna kami masih sama-sama canggung. Tapi, seiring berjalannya waktu, kami bisa saling memahami dan melengkapi satu sama lain," ucap Bu Ratna, sambil menatap wajah Ara.
Ara tersenyum lembut. Ya, dia sudah merasakan fase itu.
"Setahun setelah menikah, Ibu belum bisa memberikan anak, karna kami belum sampai ke tahap yang lebih intim. Mertua Ibu selalu menekan Ibu untuk segera memberikan beliau cucu. Waktu itu Ibu belum siap, karna Ibu takut. Suami Ibu juga tidak meminta haknya kepada Ibu. Jadi, Ibu pikir dia akan menunggu Ibu sampai siap. Suatu ketika, suami Ibu pulang dengan wajah murung. Dia mengajak Ibu untuk berbicara serius di kamar, karna kami tinggal bersama beberapa pembantu." Wajah Bu Ratna tampak sendu.
Ara menyentuh punggung tangan Bu Ratna, seolah memberikan kekuatan. Bu Ratna menumpukan tangan satunya ke atas punggung Ara, dan menekannya kuat.
"Suami Ibu bilang, dia telah menghamili wanita lain. Waktu itu Ibu sangat kacau sekali. Ibu kecewa pada suami Ibu, dan pada diri Ibu sendiri. Dia bercerita, kalau saat itu dia sedang mabuk berat di club. Dia tidak bisa menahan nafsunya yang selama ini tertahan, saat melihat wanita itu melintas di depannya.
"Bukan hanya Ibu yang ditekan oleh mertua Ibu, tapi juga suami Ibu. Dia stress, dan melampiaskan semuanya ke minuman keras. Ibu merasa gagal menjadi seorang istri." Bu Ratna menghapus air matanya yang menetes.
Ara menatap prihatin pada Bu Ratna. Tangannya yang bebas mengusap lengan wanita itu dengan pelan. "Ibu bisa berhenti, kalau tidak kuat."
Bu Ratna menggeleng. Ia mengambil nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan.
"Ibu memilih bercerai dengan suami Ibu, karna dia memilih untuk menikahi wanita itu sebagai bentuk pertanggung jawaban. Ibu pergi dari rumah itu dengan sangat sedih. Tidak ada yang menahan Ibu di sana. Mereka larut dalam kebahagiaan, saat akan mendapatkan keturunan yang selama ini mereka harap-harapkan. Tidak peduli dengan cara yang salah sekalipun."
Ara menatap Bu Ratna dengan kosong.
"Sekarang, Ibu bahagia dengan keluarga kecil Ibu. Setelah 2 tahun perceraian kami, Ibu menikah lagi. Dan kami diberikan dua keturunan untuk melengkapi keluarga kecil kami. Apalagi, sekarang Ibu sudah memiliki cucu. Rumah Ibu menjadi sangat ramai." Bu Ratna terkekeh pelan.
"Ara, kalau kamu belum memberikan hak kamu kepada suamimu, cepatlah berikan, Nak. Jangan sampai masa lalu Ibu terjadi kepada kamu juga. Siap tidak siap, seorang istri wajib melayani suaminya. Kamu bisa homeschooling untuk meneruskan sekolah kamu, jika nantinya kamu hamil. Setelah menikah, surgamu berganti kepada suamimu. Kamu wajib menurut kepada suamimu. Kita tidak pernah tau, apa yang akan terjadi ke depannya. Jadilah istri yang baik," ucap Bu Ratna, menatap Ara dengan lembut.
Ara mengulas senyumnya, dan mengangguk. "Terima kasih, Bu."
***
Tbc.
Vote sudah mencapai target, tapi komennya belum. Tapi gapapa! Aku tetep bangga sama kalian! Sayang kalian banyak-banyak!
Vote tembus 500, komen tembus 130, besok malem aku update. Malem ya! Bukan siang, ataupun sore.
Spam komen gaes!
Harusnya target semakin naik, tapi komen justru aku turunkan. Aku tu kurang pengertian apa lagi coba, hiks.
Kalo beso belum mencapai target, updatenya suka-suka aku. Hahahaha *tawa jahat.
Yang ga vote, fix. Kalian tega sama aku, bay!
Mon maap kalo ada typo.
See you next part ❤
Semarang, 25 April 2021
Salam Indah♡
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...