○ 56

195K 19.7K 1.4K
                                    

Sepanjang perjalanan ke rumah, Ara hanya diam dengan tatapan yang lurus ke depan. Sedari tadi juga Arkan tidak melepaskan tangan istrinya. Dia menggenggam tangan istrinya, mencoba memberikan kekuatan. Arkan tidak tau apa yang membuat Ara seperti ini. Ara seperti tidak berniat untuk membuka mulutnya barang sedikitpun.

Sesampainya di rumah, Arkan berniat membukakan pintu untuk Ara, namun istrinya itu sudah lebih dulu keluar. Arkan menangkap tubuh Ara yang berjalan sempoyongan, hingga hampir jatuh. Ara mencengkram lengan Arkan dengan kuat. Tanpa banyak bicara, Arkan menggendong Ara menuju kamar mereka. Mengabaikan Bi Inah yang menatap mereka dengan khawatir di depan pintu.

"Minum dulu," ujar Arkan, seraya memberikan segelas air putih pada Ara.

Ara meneguknya sedikit, kemudian menatap Arkan dengan berkaca-kaca.

"Kenapa?" tanya Arkan, seraya mengusap kepala istrinya. "Jangan stress, kamu lagi hamil."

Arkan memeluk istrinya, mengusap punggung bergetar itu dengan pelan. Sesekali dia menciumi kepala Ara dengan penuh kasih sayang. Perlahan, Ara menceritakan obrolannya dengan bundanya dan Dita tadi. Diiringi isak tangis yang memilukan.

"Ak-aku egois ya, Mas?" tanya Ara setelah menceritakan semuanya.

"Kamu nggak egois. Kamu baru mengetahui semuanya sekarang. Egois itu jika kamu sudah mengetahuinya, tapi kamu pura-pura tidak tau, dan tetap memikirkan diri kamu sendiri. Jangan memberatkan pikiran kamu, sayang," balas Arkan penuh pengertian.

Ara mengangguk, meskipun otaknya sedikit lamban mencerna ucapan suaminya. Dia memilih memejamkan matanya, karna sangat-sangat lelah. Menangis sangat menguras tenaganya. Maka dari itu, disarankan untuk semua orang, jika akan menangis, lebih baik makan dulu.

Arkan membaringkan tubuh istrinya di atas ranjang, menarik selimut sebatas perut Ara, kemudian mencium kening wanitanya dengan sangat lembut. Tangannya bergerak untuk mengusap jejak air mata yang masih ada di pipi Ara.

***

Dita duduk termenung di atas ranjang memeluk kakinya dengan tatapan yang kosong. Jejak air mata yang akan mengering masih terlihat di sekitar pipinya. Kepalanya dipenuhi dengan segala macam pertanyaan yang Dita sendiri tidak bisa menjawabnya.

"Apa ini juga alasan, kenapa Bunda selalu nuntut aku untuk mendapatkan nilai yang sempurna? Bunda selalu memaksa dan menuntut kesempurnaan sama aku. Bahkan sampai aku mimisan karna kelelahan pun Bunda tetap memaksa aku untuk jadi yang nomor satu," tawa miris keluar dari mulut Dita.

Dita tidak lupa sama sekali, saat dimana dia disuruh bundanya untuk belajar di kamar, dan pintu kamarnya dikunci dari luar. Dia hanya bisa melihat kakaknya yang terlihat riang saat bermain dengan ayah mereka. Dita merasa iri dengan kakaknya, karna kakaknya adalah anak yang pemberani. Dia suka memberontak, dan justru memarahi bunda mereka balik. Membuat bundanya jengah, dan berhenti untuk memaksa kakaknya belajar.

Ara adalah panutan Dita sejak kecil. Ara selalu bilang pada Dita untuk tidak menangis, karna menangis hanya untuk anak kecil. Dia merasa sudah besar di usianya yang baru menginjak 7 tahun. Dia selalu menahan air matanya, saat dimarahi bundanya habis-habisan. Hal itu karna Dita mendapatkan nilai 9 pada mata pelajaran matematika. Bundanya selalu ingin Dita mendapatkan nilai 10. Nilai yang sempurna.

Dita tumbuh menjadi gadis yang sangat tertutup. Dia sulit terbuka pada orang tuanya sekalipun. Dia selalu memendam semua masalahnya sendiri. Bahkan persoalan bully yang selalu dia terima di sekolah, hanya Ara yang tau. Dia tidak pernah bercerita pada bundanya, apapun yang dia lewati, yang dia rasakan, dan yang dia inginkan. Dia seperti boneka tanpa jiwa yang mudah digerakan oleh bundanya. Dia seperti kehilangan jati dirinya. 17 tahun dia hidup, dia tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Semua yang dia lakukan selalu berlatar belakang bundanya.

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang