○ 57

173K 17.5K 503
                                    

Ara berjalan di koridor rumah sakit dengan tidak sabaran. Semalam dia sudah kemari, namun ditahan oleh beberapa satpam yang berjaga. Terlebih, semalam, Ara dan Arkan ke rumah sakit pukul setengah dua belas malam. Jam pengunjung pasti sudah habis. Terpaksa dia kembali pulang dan mengabarkan pada Bundanya, kalau dia akan datang pagi ini.

Ara membuka pintu rawat Dita, lalu menghampiri adiknya yang tengah tersenyum tipis ke arahnya. Ara menghampiri ranjang Dita, dan memeluk adiknya dengan erat. Dita juga membalas pelukan Kakaknya tidak kalah erat. Air matanya luruh di atas pundak Ara. Air mata yang mewakilkan betapa hancurnya perasaannya saat ini. Rasa sedih dan terluka tidak dapat di tepis begitu saja.

Tidak ada rasa sakit yang melebihi sakitnya orang tua saat ditinggalkan anak mereka untuk selamanya. Ini adalah titik terendah untuk Dita. Lebih rendah dibandingkan dengan masa lalunya yang begitu suram dan menyedihkan.

Ara mengurai pelukan mereka, lalu menangkup wajah adiknya. Ibu jarinya mengusap air mata yang terus mengalir dari mata Dita. "Jangan cengeng, Dita. Dia udah bahagia di sana. Dia akan nungguin lo di surga, sampai waktunya tiba nanti."

Dita mengangguk dengan tersenyum tipis.

"Jangan coba-coba nyusul dia sekarang! Soalnya kalau lo nyusul sekarang, lo gak akan bisa ketemu dia. Dosa lo sama gue masih banyak. Yang ada lo malah masuk neraka!" sambung Ara.

Dita tertawa kecil mendengar ucapan Kakaknya. Sedangkan Arkan, dia hanya menggelengkan kepalanya. Apakah istrinya itu tidak bisa serius barang sebentar saja?

Ara tersenyum lebar, mendengar tawa renyah Dita. Dia tidak bermaksud apa-apa mengatakan itu. Dia hanya ingin menghibur Dita, agar adiknya itu tidak sampai depressi nantinya.

"Maafin Bunda, Dita. Gara-gara Bunda, kamu kehilangan anak kamu."

Dita dan Ara menoleh ke arah Bunda mereka yang sedari tadi hanya diam di tempatnya.

"Bunda janji, setelah ini Bunda tidak akan menyakiti kalian lagi." Lia menatap kedua putrinya dengan mata berkaca-kaca.

Suara pintu dibuka mengalihkan perhatian mereka. Kening Ara mengerut begitu dalam, saat melihat beberapa amggota polisi yang masuk ke dalam ruangan Dita.

"Bunda akan menebus dosa Bunda. Bunda berharap, kalian selalu rukun dan baik-baik saja." Lia beralih menatap polisi dan polwan yang ada di sampingnya. "Bawa saya, Bu."

"Bunda." Nafas Dita tercekat, dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Hukum akan berjalan dengan semestinya. Mari Ibu Lia, ikut kami ke kantor polisi."

Ara menggeleng, lalu menghampiri Bundanya dengan cepat. Dia menahan kedua tangan Bundanya yang akan diborgol oleh salah satu polwan itu. "Aku dan Dita udah maafin Bunda. Bunda gak perlu masuk penjara. Itu semua bukan kesalahan Bunda aja. Bunda juga korban di sini. Jangan Bun, aku mohon."

Lia memeluk Ara dengan erat. Dia menangis sesenggukan, membayangkan entah berapa lama dia tidak akan merasakan pelukan ini lagi nantinya. Dia yakin, masa hukumannya akan panjang. Dan dia hanya berharap untuk yang terakhir kalinya, bahwa kedua putrinya nanti akan selalu bahagia meskipun tanpa dirinya.

Lia mengusap air matanya, menatap Ara teduh. "Bunda bersalah, dan Bunda harus bertanggung jawab. Permintaan Bunda hanya satu. Kamu dan Dita harus bahagia, meskipun tanpa Bunda."

"Kita bisa selesaikan ini dengan kekeluargaan, Bunda."

"Tidak bisa, Mbak. Ibu Lia sudah memberikan kami bukti atas kasus pembunuhan yang telah dia lakukan. Kasus pembunuhan yang sudah lama ditutup, kini akan diproses kembali."

Ara menatap salah satu polisi yang baru saja menyangkal ucapannya. "Bunda saya masih bisa keluar kan, Pak? Pakai jaminan?"

"Tidak bisa, karna kasus ini akan langsung diproses di persidangan nanti," jelas polisi itu.

Ara menatap Arkan dengan memohon. Dia sudah tidak memiliki cara lain lagi untuk menolong Bundanya.

Arkan menatap polisi yang berdiri di depan istrinya. "Kapan persidangan itu akan dilaksanakan?"

"Dua minggu lagi, Pak."

"Jangan lakukan apa-apa, Arkan. Biarkan Bunda menanggung semua kesalahan Bunda di masa lalu. Kamu jangan ikut membela penjahat seperti Bunda ini," ucap Lia, menatap Arkan dengan gelengan kepalanya.

Arkan hanya diam menatap Ibu mertuanya, lalu mengangguk sekali.

"Mas!" Ara menatap Arkan tidak terima.

Ara sangat kesal setengah mati. Dia menghalangi dua orang polwan yang akan mendekati Bundanya.

"Ara, menyingkir!"

Ara menggeleng, tanpa menatap Lia. "Kalau Ibu masih maksa buat bawa Bunda saya, saya tendang nih! Ibu gak tau, kalau saya mantan preman? Saya ditakuti di sekolahan!" ujar Ara mengancam.

"Arkan, bawa istri kamu dari hadapan Bunda!"

"Mas jangan ikut campur ya! Baru kali ini kamu gak ada gunanya!" Ara mengukung tubuh Bundanya di tembok. Membuat Lia tidak bisa kemana-mana.

"Mohon kerjasamanya, Mbak. Kami tidak akan menyakiti Ibu anda. Kami hanya menjalankan tugas!"

Arkan berjalan menuju istrinya, lalu memeluk Ara sekuat tenaga. Ara memberontak, saat para polwan itu berhasil memborgol tangan Bundanya. Dia memukuli punggung Arkan sekuat tenaga, berharap suaminya itu bisa melepaskan pelukan mereka.

"Bunda! Enggak! Jangan bawa Bunda!" Ara menatap tajam suaminya. "Lepas, atau aku akan marah sama kamu selamanya!"

"Kita bisa datang ke persidangan untuk membantu Bunda, sayang. Tenaga kamu akan terbuang sia-sia kalau untuk menolong Bunda sekarang. Mereka gak akan dengerin kamu." Arkan menatap istrinya lembut, berharap wanitanya itu akan mengerti.

"Dua minggu itu lama, Mas! Satu hari Dita di penjara aja aku udah uring-uringan! Gimana sama dua minggu?!"

"Ara, Bunda akan baik-baik saja. Tolong jangan seperti ini." Lia menatap Ara teduh.

Ara menatap Bundanya memelas. Dalam hatinya dia juga ingin Bundanya mempertanggungjawabkan semuanya. Namun, dia ingin bentuk tanggung jawab itu berupa perubahan sikap Bundanya pada Dita. Menurutnya, itu sudah cukup. Tidak perlu berurusan dengan kantor polisi.

Ara jadi bingung sendiri, kenapa keluarganya sangat suka berurusan dengan polisi. Dia saja pusing hanya dengan membayangkannya sedikit. Ara hanya bisa menatap kepergian Bundanya dengan sendu. Bagaimanapun juga, hanya Lia lah yang menjadi orang tua satu-satunya bagi Ara dan Dita.

***

Tbc.

Karna banyak yang jawab benar, jadilah aku double update. Padahal nggak ada persiapan sama sekali. Part ini diketik dadakan, seperti tahu bulat.

Mon maap kalo ada typo. Udah ngantuk gaes.

Semarang, 11 Juli 2021
Salam Indah♡

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang