○ 16

277K 28.8K 1.4K
                                    

Ara mengerjapkan matanya pelan, untuk menyesuaikan dengan cahaya terang yang ada di depannya.

"Sayang ..."

Ara menoleh ke samping kanannya, dan tersenyum. "Ini jam berapa, Mas?"

"Jam enam lebih lima belas menit,"

"Mas sudah sholat?"

Arkan mengangguk.

"Aku belum. Ada mukena?"

"Aku pinjemin sama suster dulu,"

Ara mengangguk, lalu Arkan keluar dari ruang rawatnya. Setelah lima menit berlalu, Arkan kembali dengan mukena berwarna putih ditangannya.

"Taruh sini aja,"

Arkan menurut, dan meletakkan mukenanya di atas ranjang Ara.

"Mas, tolong naikin sandarannya,"

Arkan mengangguk, lalu melakukan apa yang dipinta istrinya itu. "Sudah?"

"Iya, terimakasih,"

Setelah itu Arkan duduk di sofa ujung, mengamati Ara yang tengah bertayamum. Lagi-lagi Arkan mensyukuri takdir yang mempertemukan Arkan dengan orang seperti Ara. Ia jadi heran sendiri dengan ibu mertuanya. Kenapa bisa selalu berfikiran buruk tentang Ara. Padahal, Ara putri kandungnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Ara selesai dengan sholatnya dan sedang melipat mukena yang baru saja ia lepas.

Arkan berpindah duduk dikursi samping ranjang Ara.

"Mas sudah makan?"

"Sudah. Kamu mau makan?"

"Aku mau minum,"

Arkan mengambil gelas yang ada di atas nakas, lalu memberikannya kepada Ara.

"Terima kasih," ucap Ara setelah meneguk setengah dari isi gelas itu.

"Kamu sudah lebih baik?"

Ara mengangguk. "Aku selalu baik,"

"Selalu baik, tapi masuk rumah sakit," cibir Arkan, yang disambut gelak tawa Ara.

"Assalamualaikum! Atuk ... oooo ... atuk!"

Arkan dan Ara mengalihkan pandangan mereka ke pintu yang terbuka lebar.

"Eh, masih pacaran ya?" cetus Evan.

"Buruan masuk!" dorong Lala, yang ada di belakang Evan.

Evan memasuki ruang rawat Ara, diikuti Lala, Dita, dan Riko.

"Tadi pagi ada yang bilang ... 'emang gue bisa sakit?' ... ternyata ambruk juga, kan? Makanya jangan songong, Ara jubaedah!" cibir Evan.

"Kalau gue gak telfon lo, mungkin gak ada yang kabarin kita kalau lo masuk rumah sakit. Iya kan, La?"

"Kita? Lo aja kali, gue gak! Dita udah ngabarin gue, kok," ucap Lala santai, yang disambut tawa Ara dan kekehan Dita.

"Anjing!"

Plukk

Lala memukul mulut Evan dengan teh kotak yang ia bawa.

"Kakak gimana?"

"Alhamdulillah, baik. Lo udah makan?"

Dita mengangguk. "Baru aja makan di kantin setelah sholat maghrib."

"Pantes pada bawa jajan,"

"Kalau mau bilang, gak usah ngode-ngode," ketus Evan, saat melihat wajah mupeng Ara yang menatap ciki ditangannya.

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang