○ 33

239K 25.3K 2.2K
                                    

Beberapa minggu berlalu, kini SMA SRITAMA tengah ramai oleh kunjungan wali murid untuk mengambil raport putra-putri mereka, adik mereka, keponakan mereka, ataupun istri mereka.

Arkan berjalan di koridor sekolah, dengan penuh wibawa. Membuat para ibu-ibu sosialita yang sedang bergosip, mulai mengandai-andai.

'Itu siapa ya?'

'Saya juga gak tau. Ganteng sekali.'

'Apa dia mau mengambil raport anaknya?'

'Saya rasa bukan, Bu. Masa semuda itu sudah memiliki anak SMA.'

'Ohh, mungkin mau mengambil raport adiknya.'

'Saya gak peduli, dia mau ambil raport siapa. Kayaknya dia cocok sama anak pertama saya.'

'Dia lebih cocok jadi mantu saya. Anak saya sudah sangat sukses, pasti seimbang sama dia.'

'Andaikan saya belum mempunyai suami dan anak, pasti saya mau jadi istrinya dia.'

'Astaghfirullah, Bu Rinta. Suaminya lagi berlayar, melawan ombak, demi sesuap nasi, di sini Ibu justru ingin bermain gila?'

'Ah, eh, saya cuma bercanda kok.'

'Mendingan juga sama saya, saya janda tapi masih rapet.'

'Apanya yang rapet? Gak inget, udah punya anak tujuh? Masih dibilang rapet?'

Dan pada akhirnya, mereka pun saling melawan satu sama lain.

Arkan hanya diam tak menggubris bisik-bisik kekaguman yang kaum hawa utarakan dengan terang-terangan. Fokusnya hanya berjalan menuju kelas sang istri.

"Permisi." Arkan mengetuk pintu kelas Ara, yang sudah terdapat banyak wali murid, juga anaknya.

Bu Rahma, selaku wali kelas Ara menyambut Arkan dengan sangat baik. Beliau langsung mempersilahkan Arkan untuk duduk di kursi sebelah Ara.

Ara tersenyum manis, membuat Arkan curiga.

Ara menggigit bibirnya, saat Arkan tak membalas senyumnya. Kedua tangannya saling meremas. Ara takut Bu Rahma bicara yang iya-iya kepada Arkan. Bagaimanapun juga, ini adalah kali pertamanya Arkan mengambil raport Ara. Jadinya Ara tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Arkan setelah menerima raport, dan laporan dari Bu Rahma.

"Azzahra Sabrina," panggil Bu Rahma.

Arkan berdiri, diikuti Ara di belakangnya. Setelahnya, mereka duduk bersisian di depan Bu Rahma yang terhalang meja.

"Ini raport kenaikan kelas Ara, dan juga kartu bebas perpustakaan, Pak," kata Bu Rahma sambil mengulurkan Raport dan sebuah kartu kecil berwarna putih.

"Bagaimana sikap Ara di sekolahan, Bu?"

Bu Rahma tampak melirik Ara yang menggeleng pelan. Lalu beliau tersenyum kepada Arkan. "Sejauh ini sangat baik, Pak. Ara anak yang cukup pintar, dan baik di lingkungan sekolah."

"Saya di sini sebagai wali murid, bukan sebagai pemilik sekolah. Ibu bisa terus terang kepada saya."

Ara memejamkan matanya sesaat. Tamatlah riwayatmu, Ara!

"Emm, Ara sering membolos jam pelajaran, Pak. Dia juga sering terlibat pertengkaran dengan beberapa siswa-siswi di sini. Sesekali, dia juga membully adik kelas," jelas Bu Rahma.

"Saya melakukan itu pasti ada alasannya kok, Bu," bela Ara.

Arkan menatapnya tajam, membuat dirinya kehilangan keberanian untuk membela diri lagi.

MY FUTURE HUSBAND [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang