"Mas kok bisa kecelakaan, gimana ceritanya?"
Arkan mengusap punggung istrinya yang sedang bersandar di dada bidangnya. "Ngantuk."
"Kalau ngantuk tidur dulu, istirahat yang cukup."
"Aku udah gak sabar ketemu kamu," kata Arkan.
"Lain kali jangan gitu, Mas. Keselamatan Mas Arkan lebih penting," balas Ara sambil mendusel-dusel ke ceruk leher Arkan.
"Hmmm. Berapa usianya?" Tanya Arkan mengelus perut Ara yang masih datar.
"Tujuh minggu."
"Kamu udah periksa ke dokter?"
"Udah, kemarin. Usg nya ada di rumah. Aku lupa masukin ke kotak."
Arkan mengangguk paham. Tangannya mengusap kepala Ara, saat melihat kedua mata istrinya yang hampir terpejam.
Tidak butuh waktu lama untuk Ara memasuki alam bawah sadarnya. Arkan mencium kening istrinya dengan sayang, tak lupa memberikan elusan lembut pada calon anak mereka.
***
Brakk.
"Eh, masih pada tidur."
"Emmm, mereka manis banget tidur pelukan gitu."
"Izan mau tidul baleng Om Alkan sama Tante Ala, Ma," kata Izan sambil mengucek matanya. Kasihan bocah kecil ini. Pasalnya, pagi-pagi buta seperti ini, ia harus dibangunkan paksa oleh mamanya untuk menjenguk omnya tercinta.
"Jangan sayang, kita duduk di sofa aja ya?" Bujuk Risa pada putranya.
Izan pun mengangguk dengan paksa. Jihan dan Risa duduk di atas sofa dengan Izan yang mulai memejamkan kedua matanya di pangkuan sang mama.
Cukup lama Jihan dan Risa terlibat perbincangan hangat pagi ini. Hingga Risa kembali melirik sepasang suami istri yang tengah tertidur pulas di atas ranjang.
"Bangunin gak, Ma?"
"Bangunin aja, mereka pasti belum sholat subuh." Jihan beranjak dari duduknya, dan menghampiri anak juga menantunya itu.
"Arkan bangun, sholat dulu," katanya sambil menepuk lengan Arkan.
Arkan mengerang pelan, lalu menatap mamanya dengan mata menyipit. "Mama ngapain di sini?"
"Maksud kamu, Mama gak boleh ke sini?" Ucap Jihan galak.
"Bukan git—"
"Udahlah, Kan. Ambil wudhu sana! Terus sholat dulu. Ajakin istri kamu juga," kata Jihan, lalu berbalik duduk bersama putrinya juga cucunya kembali.
Arkan mencium kening istrinya, dan berbisik di telinga wanita itu. "Sayang, bangun yuk. Sholat dulu,"
Bukannya bangun, Ara justru mengeratkan pelukannya kepada suaminya.
"Sayang." Arkan mengusap surai Ara dengan lembut.
"Enghh."
"Bangun dulu, ada Mama."
Kedua bola mata Ara terbuka sempurna, saat pendengarannya menangkap kata 'Mama'. Ara buru-buru beranjak dari tidurnya, dan mengedarkan pandangannya.
"Udah lama, Ma? Kak?" Tanya Ara, saat mendapati mama mertuanya dan kakak iparnya sedang bercengkrama.
Risa menoleh, dan mengulas senyumnya. "Lumayan, nunggu pasutri kebo gak bangun-bangun."
Ara tersenyum tidak enak. "Kenapa gak bangunin dari tadi aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...