Senyum lebar tidak hilang dari wajah Lia, setelah cucu barunya datang 15 menit yang lalu. Cucu pertamanya begitu tampan, sama persis seperti menantunya. Lia bersyukur, dia masih bisa bertemu dengan cucunya, setelah beberapa hari ini dia merasa putus asa dengan hidupnya.
"Ara, selalu katakan sama Zayn, bahwa Neneknya sangat menyayangi dan selalu mendo'akan yang terbaik untuk dia. Meskipun Neneknya tidak bisa selalu ada di samping dia, menemani dia tumbuh besar," ucap Lia dengan mata berkaca-kaca.
Ara merangkul Bundanya dari samping. "Zayn juga menyayangi Neneknya."
Lia mengusap kepala Ara yang berada di atas pundaknya. "Jadi Ibu yang baik, ya, Nak. Bilang sama Arkan kalau kamu capek, kamu stress, atau kamu merasa tidak nyaman sama suatu keadaan. Jangan dipendam semuanya sendiri. Berbagi sama Arkan, cari jalan keluar bersama, ya."
Ara mengangguk. "Iya, Bunda. Bunda tenang aja, jangan khawatirin aku."
Kemudian, Lia diminta sipir yang berjaga untuk segera kembali ke dalam sel, karna waktu menjenguk sudah habis. Pertemuan Ara dan Bundanya cukup singkat, dan tidak sempat saling berbagi cerita panjang satu sama lain. Namun, Ara berjanji pada Lia, bahwa dia akan tetap sering mengunjungi Bundanya, sama seperti satu bulan kemarin.
***
Malam ini, semuanya nampak baik-baik saj-
"SAYANG! ZAYN NGOMPOL!"
Sepertinya tidak. Malam ini akan berlalu seperti malam-malam kemarin. Dimana teriakan Arkan selalu membahana di penjuru rumah, hanya karna masalah sepele. Ara sering memijit keningnya, entah lelah karna menjaga bayi kecilnya, Zayn, atau bayi besarnya, Arkan.
Dengan langkah lemah, lesuh, letih, Ara membuka pintu kamarnya, dan menatap Arkan malas. "Semalem aja deh, Mas, gak usah teriak-teriak kayak kemalingan. Kalau anaknya ngompol ya digantiin. Tangan kamu gunanya buat apa?"
Pandangan Arkan mengikuti gerakan Ara yang kesana kemari mengambil perlengkapan bayi untuk Zayn. "Aku belum bisa, sayang."
"Makanya belajar!"
"Kerjaanku masih banyak. Nanti kalau urusan kantor udah selesai, aku akan fokus sama Zayn."
Ara menggeram. "Nunggu urusan kantor kamu selesai, sampai kapan? Emang pernah selesai? Enggak, kan? Awas aja kamu kalau dalam waktu seminggu gak bisa gantian sama aku buat jagain Zayn!"
Arkan menghela nafas. Dia masih suka gemetar menyentuh putranya sendiri. Zayn begitu kecil di tangannya. Arkan takut, jika Zayn dia urus, akan jadi apa anak kecil itu.
Pertama kali menggendong Zayn saja, Arkan hampir mencekik putranya sendiri. Pertama kali memasang popok, Arkan justru mengikat kedua kaki Zayn menjadi satu. Pertama kali memandikan Zayn, Arkan justru hampir membuat bayi mungil itu tenggelam. Entahlah, sudah berapa banyak lagi kegagalan yang membuat Arkan trauma.
"Kenapa ngelamun? Kamu denger gak?"
"Denger, sayang," ucap Arkan tidak bersemangat.
"Kenapa lemas gitu, sih? Kamu gak mau bantuin aku?" Mood Ara yang sedang naik turun pun selalu berimbas pada Arkan.
"Mau. Iya, nanti belajar jagain bayi," jawab Arkan patuh, bak anak kecil yang diancam oleh ibunya.
"Bagus. Sini peluk dulu," Ara menarik kepala suaminya, dan menepuk-nepuk punggung Arkan dengan semangat.
Di pelukan Ara, wajah Arkan terlihat sangat masam. Namun, tangannya tak urung untuk melingkari pinggang Ara.
***
Di tengah malam Arkan masih belum bisa memejamkan matanya. Jabatan kerjanya, membuat Arkan semakin sibuk setiap harinya. Waktu untuk keluarga pun semakin menipis. Ingin pensiun, tapi dia malas menganggur. Jika Ara marah-marah, atau mengomelinya, pasti Arkan akan kabur ke kantor dan mengerjakan berkas kantornya yang banyak, hingga lupa persoalannya dengan Ara. Lalu, jika dia pensiun, kemanakah dia akan kabur? Kafe? Dia justru akan terlihat seperti pria galau yang hanya diam tidak memiliki kerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...