Di tengah malam yang begitu sunyi, terdengar rintihan pelan yang keluar dari mulut Ara. Tubuhnya gelisah, bergerak ke kanan dan ke kiri. Keringat sebesar biji jagung berlomba-lomba menuruni dahi dan pelipisnya. Tangannya mencengkram selimut dengan erat, merasakan sakit yang tidak bisa dia jelaskan.
Arkan yang merasa tidurnya terusik pun membuka matanya. "Kenapa, sayang?"
"S-sakit, Mas," ucap Ara dengan berkaca-kaca.
"Kontraksi palsu?" tanya Arkan.
Ara menggeleng. "Kayaknya aku mau lahiran."
"Kok bisa? Eh, maksudnya kok sekarang? Katanya dokter masih satu minggu lagi," ujar Arkan panik.
"Itu kan cuma perkiraan, Mas. Bisa lebih cepat atau lebih lama."
Arkan berjalan mondar-mandir di samping Ara. "Terus aku harus gimana, sayang?"
Kalau keadaannya tidak seperti ini, sudah dapat dipastikan kalau Ara akan melempar wajah suaminya dengan wajan.
"Bawa aku ke rumah sakit!"
"Sekarang?" tanya Arkan bak orang bodoh.
"TAHUN DEPAN!" teriak Ara kesal bercampur rasa sakit yang semakin menyiksanya. "CEPETAN, SEKARANG, MAS!"
Arkan buru-buru menggendong istrinya keluar kamar, sambil berteriak kepada seluruh pekerjanya untuk membawa perlengkapan Ara dan anaknya.
Sontak, rumah besar itupun sangat terdengar ramai di tengah kesunyian malam. Para pelayan berhamburan kesana kemari, para bodyguard juga sibuk membuntuti Arkan.
Ara duduk di bangku belakang bersama Arkan. Mobil yang dikendarai oleh Pak Imam melaju begitu cepat di jalanan malam Ibu Kota.
"Mas Arkan, sakit!"
Arkan menggenggam tangan istrinya, dan mengusap-usap perut besar Ara dengan lembut. "Sabar, sayang. Anak kita lagi lomba lari biar cepat keluar."
"JANGAN TUTUP MATA!" teriak Arkan panik, saat Ara memejamkan matanya.
Ara memukul mulut Arkan yang sudah membuat telinganya berdengung. "Bisa gak sih, gak usah bikin emosi!"
"Kamu tadi tutup mata, aku takut, sayang."
Ara mengacuhkan ucapan suaminya. Dia sibuk mengatur nafasnya yang mulai terputus-putus. Sedangkan Arkan, dia masih mencoba menelfon kedua orang tuanya yang sangat sulit dihubungi.
"HALO MA! ARA MAU LAHIRAN!"
Ara terlonjak mendengar teriakan Arkan yang tiba-tiba seperti itu. Dia tau, suaminya itu pasti panik. Tapi apa tidak bisa dia menurunkan sedikit intonasi suaranya. Kepanikan Arkan justru seperti seseorang yang rumahnya terbakar, dan aset-aset harta kekayaannya ada di dalam rumah itu. Sungguh berlebihan.
Beberapa saat kemudian, mobil berhenti di depan lobby rumah sakit, bertepatan dengan Jihan yang memutuskan sambungan telepon bersama anaknya.
Arkan kembali menggendong Ara, dan membaringkannya di atas brankar yang sudah disiapkan oleh bodyguardnya dan perawat rumah sakit. Brankar Ara didorong menuju ruang persalinan.
Ara menggenggam tangan Arkan dengan kuat, sesekali menggoreskan kukunya pada kulit mulus suaminya. Arkan sendiri hanya bisa pasrah, melihat luka yang dibuat istrinya. Paling tidak, itu bisa meminimalisir rasa sakit istrinya.
Genggaman tangan mereka terlepas saat seorang perawat menahan Arkan di depan ruang persalinan. Arkan terduduk lesu, menatap pintu ruang persalinan yang tertutup dengan tatapan khawatir. Banyak ketakutan yang menghantui pikiran Arkan, membuat perasaannya sangat kacau.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY FUTURE HUSBAND [END]
General Fiction[PART MASIH LENGKAP] [BELUM DI REVISI] Ara tidak memiliki pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Ia juga membutuhkan uang untuk menghidupi bunda dan adiknya. Ara ikhlas mengorbankan masa mudanya untuk menikah dengan seorang pria yang berumur...