Saat penyesalan yang datang di akhir menyadarkan kita, siapa yang akan kalian salahkan? Takdir yang membuat kita berada dalam keadaan ini? Atau waktu yang membuat kita terlena seolah kita memiliki banyak waktu yang tersisa? Atau orang lain yang tidak pernah menyadarkan kita?
Tidak. Bukan takdir, waktu ataupun orang lain yang harus kita salahkan. Karena pada dasarnya diri kita sendirilah yang salah.
Takdir dapat kita ubah saat kita berusaha, waktu dapat kita lalui dengan bahagia saat kita menghargainya dan orang lain hanyalah penonton, mereka tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam kehidupan kita.
Itu diri kita sendiri.
Saat penyesalan itu datang, diri kita sendirilah penyebabnya.
Sama seperti Aaron yang tidak berhenti menyalahkan dirinya, sama seperti Alfred yang juga menyalahkan dirinya. Mereka semua menyalahkan diri mereka sendiri karena ketidakmampuan menjaga seseorang yang berharga bagi mereka.
Seseorang yang tadinya selalu membuat kekacuan dimanapun dia berada, kini hanya terbaring tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit, terkurung dalam ruang intensif dengan berbagai macam alat penompang kehidupan. Seolah tidak pernah ada wanita yang sering disebut penyihir itu, kini yang tersisa hanya seorang wanita yang bahkan tidak dapat hidup tanpa alat-alat yang menempel di tubuhnya.
"Evelyn telah memenuhi keinginannya." Kalimat itu Erina ucapkan saat dia berdiri di depan kaca yang membatasi ruangan Evelyn.
"Apa maksudmu?"
"Mungkin tidak ada yang menyadari ini, namun entah berapa kali, saat Evelyn dibiarkan sendirian, dia akan berusaha untuk mengakhiri hidupnya. Entah ada berapa luka yang telah dia sembunyikan di pergelangan tangannya." Ujar Erina menatap pergelangan tangan Evelyn yang terlihat lemah dengan selang infus yang menghiasi pergelangan tangan itu.
Tidak ada yang tahu, bahwa hanya ada beberapa orang yang mengetahui hal menyakitkan yang Evelyn rasakan.
Memang benar, bahwa wanita itu terus berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Erina masih mengingat dengan jelas saat pertama kali dia tahu usaha Evelyn bunuh diri.
Saat itu, dia yang berniat mengunjungi Evelyn di apartemen gadis itu, masuk begitu saja saat tidak ada yang membukakan pintu untuknya, padahal dia sudah beberapa kali menekan bel.
Hal pertama yang Erina dapatkan adalah kegelapan menyelimuti apartemen mewah itu. Padahal sebelum datang, dia sudah memastikan jika Evelyn ada di apartemen ini. Tapi kemana wanita itu?
Perasaan tidak nyaman, mulai menyelimuti Erina saat tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali disana.
"Eve."
"Evelyn." Panggil Erina menyusuri setiap ruangan di apartemen itu.
Sampai dia membuka pintu kamar mandi di dalam kamar Evelyn, dia melihat genangan air berwarna merah menghiasi lantai kamar mandi. Terlihat menakutkan dan menyakitkan.
Sampai tatapannya jatuh pada bathtube dengan seorang wanita uang terlihat sangat putih, seolah semua darah telah terkuras dari tubuhnya. Menutup mata dengan tenang di sana dengan sebuah pisau kecil yang dia genggam dan luka pada pergelangan tangannya.
"Evelyn!" Teriakan penuh kekhawatiran itu terdengar, namun sama sekali tidak mengusik wanita dalam bathtube.
Beruntung, bahwa Erina dalah seorang dokter yang tahu apa yang harus dia lakukan pertama kali. Erina dan Andrew mungkin akan menyalahkan diri mereka sendiri, jika saja saat itu Evelyn tidak selamat.
Dia dan Andrew yang hidup dari belas kasih Evelyn, bersedia melakukan apapun, bahkan untuk memberikan nyawa mereka pada wanita itu.
Erina tidak menyadari keterkejutan seseorang yang berdiri di sampingnya saat mendengar apa yang baru saja dia katakan.
Rasa penyesalan dan perasaan bersalah menyelimuti pria itu. Saat tatapannya terus tertuju pada wanita di balik kaca itu.
Jika saja aku dan keluargaku tidak hadir, apakah kau tidak akan melakukan itu semua Eve?
***
Waktu terus berlalu, satu bulan terlewati begitu saja. Evelyn yang tadinya dirawat di Paris kini telah dipindahkan, berada di rumah sakit dalam naungan keluarga Geraldo dan ditangani oleh dokter-dokter hebat.
Tapi tidak ada kemajuan sama sekali. Wanita cantik yang tampak tertidur pulas itu, seolah tidak terusik dengan segala hal yang terjadi, seolah tidak peduli dengan semua kekhawatiran yang di rasakan banyak orang.
Kini, julukan penyihir yang selalu tersemat dalam namanya, berubah menjadi putri tidur.
Dalam ruangan besar yang terlihat nyaman itu, hanya terdengar suara beragai alat penompang kehidupan dengan Evelyn yang berbaring di atas ranjang rumah sakit.
Perban yang selama beberapa waktu lalu melilit kepalanya, kini telah tiada. Memperlihatkan bahwa alih-alih koma, wanita itu hanya tertidur pulas. Jika saja semua alat yang membantunya bernapas tidak ada disana, mungkin mereka semua akan benar-benar tertipu.
Meski waktu terus berlalu, semua orang tidak pernah putus asa untuk menunggu wanita itu kembali membuka matanya dan memperlihatkan manik matanya yang indah.
Semua orang rindu dengan tatapannya yang tajam dan dingin, dengan kata-katanya yang selalu kasar dan menyakitkan.
Semua orang merindukan hal yang mereka anggap buruk dari wanita ini.
Kini semua orang tahu, alasan Evelyn terus bersikap seperti itu. Ini karena wanita itu hanya ingin menyembunyikan lukanya, rasa sakitnya dan kesedihannya.
Kenapa mereka semua terlambat menyadari itu? Karena mereka tidak pernah bertanya.
Mereka tidak pernah bertanya 'apakah kau baik-,baik saja? Apakah ada hal yang membuatmu sedih? Apakah ada yang melukaimu?'
Mereka semua, hanya mempercayai apa yang mereka lihat, sampai-sampai lupa alasan seseorang menjadi kejam.
Pria itu berdiri di samping ranjang, menatap lekat pada wajah cantik yang terpejam. Menggulurkan tangannya, pria itu mengelus lembut wajah putih mulus wanita yang selama ini disia-siakan banyak orang, termasuk dirinya.
Aaron Theodor Barnaby.
Pria yang selalu disebut namanya oleh Evelyn, tapi selalu menyia-nyiakan wanita berharga itu.
"Maaf." Ujarnya dengan pelan dan terdengar penuh penyesalan dan bersalah.
Ekspresinya yang biasanya terlihat dingin dan kejam, satu bulan ini hanya terlihat menyedihkan. Tidak terlihat jelas memang, tapi tatapan matanya menggambarkan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Aaron tidak pernah sedikitpun beranjak dari sisi Evelyn. Bahkan pria itu membawa semua pekerjaannya ke rumah sakit.
Terlihat lelah memang, tapi tidak ada keputus asaan saat menunggu Evelyn untuk bangun.
Entah berapa orang memintanya untuk beristirahat, tapi Aaron menggabaikan itu semua. Pria itu hanya takut, saat Evelyn membuka matanya, wanita itu tidak melihatnya.
Memang benar apa kata orang, kau akan lebih menghargai sesuatu, saat hal itu sudah hilang.
"Evelyn Geraldo. Maafkan aku."
"Apa kau begitu membenci diriku, hingga kau enggan membuka matamu kembali?"
"Apa kau lelah mengekoriku? Jika begitu aku akan membuatmu berjalan di sampingku agar kau tidak lelah mengekoriku. Karena itu, kumohon buka matamu, Eve." Ucap Aaron, memanggil Evelyn dengan panggilan yang entah berapa kali Evelyn harapkan untuk pria itu ucapkan.
"Evelyn Geraldo, aku mencintaimu."
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
It's You
RomanceMereka telah saling mengenal sejak kecil, namun ini bukanlah hubungan akrab teman masa kecil sebagaimana terjadi pada umumnya. Dia pernah hampir membunuhnya pada saat pertemuan pertama mereka. Sedangkan dia selalu mendorongnya menjauh dan terus me...