Part 4 - Never thought to exist

1.9K 120 3
                                    

Kita menatap langit yang sama, namun hati dan pikiran kita memikirkan hal yang berbeda.

Lagi-lagi Lili harus dihadapkan dengan suatu hal yang membuat siapapun tidak akan merasa lega, yaitu menunggu. Lili banyak mendengar bahwa sabar itu ada batasnya, namun bagi dia sendiri sabar itu luas dan tidak ada batasnya. Karena sabar dapat mengalahkan semua hal buruk.

Saat marah kita cenderung membuat keputusan yang membuat penyesalan besar, namun ketika sabar dan tenang kita dapat membedakan mana keputusan yang membuat dampak buruk dan mana juga yang menguntungkan.

Perut Lili berbunyi, pertanda dia lapar. Tetapi hatinya menolak untuk mengisi perut dan dessert yang tadi sore ia beli masih berada di kulkas. Biasanya Lili memasak untuk Mario namun ia lupa karena ia sedikit terluka dan berfokus meminta penjelasan kepada Mario.

Sudah jam 22.00 malam namun Mario belum terlihat juga. Seharusnya Lili tahu bahwa Mario sedang menghabiskan waktunya bersama wanita ular itu tapi segera ia menepis pikiran negatif-nya itu. Menjadi istri dari CEO itu harus kuat mental dan batin, karena meninggalkan sebentar saja itu berarti memberi peluang besar untuk wanita-wanita yang senang merebut suami dari istrinya.

"Kenapa mas Mario belum pulang juga?" Lili merasa resah, ia memikirkan hal yang tidak-tidak kepada suaminya itu.

Terdengar suara mobil Mario yang memasuki bagasi, Lili tetap menunggu Mario di tempatnya semula, di sofa dekat pintu utama.

Terdengar suara detak jantung wanita itu, hatinya menolak untuk mengajak Mario beradu argumen, namun akalnya mencoba untuk menerima penjelasan Mario soal wanita ular itu.

Sesungguhnya ia sangat takut, tetapi ia harus melawan ketakutannya itu untuk memperbaiki segalanya daripada harus kehilangan semuanya.

Mario membuka pintu dan dihadapannya sudah terdapat Lili dengan ribuan pertanyaan. Dengan malas Mario hanya melihat sekilas lalu menjauh dari hadapan wanita itu.

"Mas," Lili memanggil Mario namun tidak di gubris oleh lelaki itu.

Siapa yang tidak kesal jika telah lama menunggu namun di abaikan seakan tak berarti, memang benar Mario tidak menganggap adanya hubungan diantara mereka, namun tolong hargai perasaanku sekali ini saja.

"Mas." panggilan kedua Lili membuat lelaki itu berhenti.

Sekarang Lili berada di hadapan Mario dan tetap sama ia selalu melihat wajah datar Mario.

"Mas, tadi itu siapa kamu?" tanya Lili langsung to the point.

"Memperlakukan wanita lain seperti itu dianggap tidak pantas, Mas. Apalagi di hadapan istri kamu." Matanya sudah berkaca-kaca namun sebisa mungkin ia menahan tangisan itu agar terlihat tegar di depan mata Mario.

"Mas, aku ini istri kamu. Dua hari yang lalu kamu mengucap janji suci di hadapan keluarga aku dan keluarga kamu, Mas." ucap Lili dengan menahan air matanya yang segera ingin mengalir jatuh ke pipi mulusnya.

"Cukup, sudah cukup." bentak Mario karena wanita itu membuatnya marah dengan pertanyaan tidak pentingnya. Sudah jelas bahwa Mario meng-klaim wanita itu menjadi kekasihnya dan Lili hanyalah orang asing.

"Kamu bisa diam tidak?"

"Saya sudah mengatakan bahwa kata suami dan istri itu hanya ada pada kamu, tidak dengan saya. Dan kamu tahu? Pernikahan yang sedang kamu bicarakan itu hanya tanda tangan di atas kertas." Mario sengaja menggantung perkataannya hanya untuk membuat wanita itu terluka, kemudian ia melanjutkan kata-katanya.

"Saya sama sekali tidak mencintai kamu, bahkan muak dengan semua pertanyaan mu itu." ucapnya kemudian menjauh dari hadapan Lili.

Sudah hancur pertahanan Lili untuk tidak menangis, tetapi karena ia tetap terluka dan akan selalu terluka, terasa sia-sia jika ia menyembuhkan lukanya begitu terluka. Yang membuat wanita itu bingung adalah kenapa ia selalu berada di samping Mario dan akan selalu mencintainya.

Untuk meredakan luka yang telah di buat Mario, Lili memutuskan menuju halaman belakang untuk menghirup udara segar dan bisa menangis sepuasnya.

Wanita itu duduk di ayunan dengan mendekap kedua lengannya dan kelihatan menggigil. Siapa yang tidak merasa kedinginan jika berada di ruangan terbuka pada jam setengah dua belas malam?

Lili mengingat pesan dari ibunya bahwa, ia harus tetap menjaga hatinya agar selalu bersih dan tidak membiarkan kedengkian dan perasaan egois menetap di hati wanita itu.

"Entah sampai kapan penderitaan ini datang kepada diriku, aku akan tetap berusaha merebut milikku kembali dan mempertahankan hubungan suci ini."

Ia tidak kuat lagi, Lili tidak bisa berjalan karena kaki nya terasa lemas dan badannya mulai melemah.

Lili merasa ada seseorang yang memberikannya selimut tebal dengan aroma khasnya.

"Jangan bertingkah konyol. Ini sudah malam dan saya yakin kamu pasti tahu mana yang baik untuk diri kamu sendiri." Lili mendengar suara Mario tetapi tidak terlalu jelas karena kesadarannya sudah mulai berkurang, Lili yang merasa tubuhnya sudah tidak kuat pun tertidur di ayunan dengan selimut Mario yang menutupinya.

Awalnya Mario tengah haus dan ia ingin mengambil segelas air di dapur, namun karena penasaran melihat seorang wanita yang sedang duduk di ayunan. Ia pun datang menemui wanita, entah sandiwara apalagi yang akan ditunjukkan kepada Mario, pikirnya.

Mario mendecak kesal dengan kelakuan wanita ini. "Jangan banyak akting, kamu nggak cocok akting di tempat saya."

"Kalau bukan karena ayah, sudah kuusir wanita ini dari hadapan dan rumahku." maki Mario menatap kesal wanita yang sudah tertidur itu. Beberapa saat setelah Mario memakinya Lili mulai mengigau.

"Aku nggak mau di sini. Ayah, aku mau pulang. Ibu, Lili sudah Lelah." rancau wanita itu entah apa yang terjadi padanya saat ini.

Tanpa pikir panjang, Mario menggendong wanita itu dan membawanya menuju kamar yang sudah ditempati wanita itu. Mario membaringkan perlahan Lili agar ia tidak merasa terganggu.

Mario duduk disisi kasur Lili dan mengamati wajah wanita itu, wajahnya memang cantik, rambutnya pirang, dan matanya yang belo kini menjadi teduh.

Harum rambut wanita itu tercium oleh Mario, harumnya bak permen gummy. Ia ingin membelai rambut wanita itu, tetapi segera ia urungkan niat itu. Karena ia tak ingin menyentuh wanita tanpa seizin wanita tersebut.

Mario berpikir kembali, jika ia tidak menikahi wanita ini maka pernikahannya dengan Malika akan terjadi. Mario sangat mencintai kekasihnya itu, harusnya ia sudah menikah sekarang dengan gadis yang di cintai nya, namun Haruman tidak menyetujuinya. Bahkan Haruman ingin mencoret nama Mario dari daftar pewaris perusahaan Relegan.

Ia mengingat-ingat kembali awal pertemuannya dengan Malika, gadis cantik dan menarik perhatiannya di butik ibunya waktu itu. Mario dan Malika saling curi-curi pandang waktu itu, ialah cinta pertama Mario karena sebelumnya Mario menganggap cinta itu hanyalah racun yang paling memabukkan dan omong kosong.

"Andai saja aku menikahi mu Malika, pasti kita akan membangun rumah tangga yang bahagia." ucap Mario secara tidak sadar.

"Kita akan memiliki anak-anak yang lucu dan menggemaskan, jika anak kita perempuan maka akan secantik dirimu dan apabila anak kita laki-laki makan akan setampan diriku." katanya lagi kemudian keluar dari kamar Lili.

Air mata Lili mengalir membasahi bantal, semulanya memang ia sedang tertidur namun ia mendengar perkataan Mario yang begitu menusuk hatinya, ia pun tahu juga bahwa Mario yang membawanya menuju kamar tidurnya karena ia melihat samar wajah Mario.

"Mas, kenapa dirimu tidak pernah menganggap aku ada?" lirih Lili dalam batinnya.

Aku akan terus mencintaimu Mario meski saat ini kamu tidak membalasnya setidaknya aku sudah menjaga cinta suci ku hanya untuk dirimu dan aku tidak akan pernah membiarkan dirimu pergi meninggalkanku sendirian.

Sebab, aku ada untuk dirimu dan dirimu ada untuk diriku. Kau adalah udara bagiku, bagaimana aku bisa tetap hidup jika aku tidak bisa menghirup udara? Bagaimana bisa aku bertahan jika tidak ada dirimu di sisiku?

Aku tidak akan pernah menyesali pernikahan tanpa cinta yang ada pada hubungan kita ini.

TIRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang