Part 35 - Laugh lamenting the wound

1.3K 54 5
                                    

Aku tidak akan pernah bisa dibodohi lagi dan aku tidak akan pernah terluka lagi.

Sudah cukup lama dia dan sang adik meninggalkan rumah, Hala ingat ketika Halman memberikannya kepercayaan atas Lili. "Tidak lama, hanya sebentar." itulah kata-kata yang harus dilakukannya sekarang karena pasti Halman dan Arishta menunggu mereka.

Hala terlihat bangkit dari pinggir kasur tidur Amaya. Wanita malang itu sudah sadar dari pingsannya tadi dan mau tidak mau kenyataan pahit harus ia terima.

"Mau ke mana?" tanya Zio seraya menaruh buku-buku yang ia baca untuk menutupi rasa bosannya karena harus berada di kamar kakaknya.

Hala menatap mata hitam Zio, "Aku tidak bisa terlalu lama di sini karena aku tahu ayahku pasti akan curiga dan mengirimkan anak buahnya untuk mencari ku dan adikku."

"Aku akan mengantarmu."

"Tidak perlu. Karena aku membawa mobil sendiri."

"Aku tidak ingin ada penolakan darimu, Hala. Kuharap kamu tahu perasaanku sebab aku tidak bisa membiarkan kekasihku memegang kemudi. Aku harus menjaganya."

Hala tersenyum mengiyakan perkataan Zio yang begitu mengkhawatirkan dirinya. Cintanya begitu tulus untuk lelaki bermata hitam elang itu namun apakah dia tahu perasaan Zio yang sebenarnya untuknya?

Zio melirik Amaya yang sedang istirahat dan untung saja Gania datang untuk menemani ibunya. "Sayang. Aku minta temani ibumu ya, jangan sampai kau lengah untuk menjaganya. Aku tidak bisa terlalu lama di sini sebab nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Beri tahu ibumu setelah ia bangun nanti bahwa aku dan Hali--maksudku tante Lili akan pergi."

"Baik, tante kembarannya tante Lili. Akan ku sampaikan pesan darimu untuk ibuku, sebelumnya terima kasih karena telah menemani ibuku." Gania tersenyum manis.

"Gania cantik. Panggil saja aku Hala, aku pergi dulu. Sampai ketemu lagi ..." Hala membelai lembut rambut Gania kemudian ia keluar dari kamar Amaya disusul oleh Zio.

Zio yang irit bicara, selalu tersenyum, berhati lembut, penyayang, dan tampan sebagai bonusnya merupakan lelaki terbaik yang pernah ditemui oleh Hala. Cintanya membuat Hala melupakan dinding besar sebagai pembatas hubungan mereka, wanita itu terus bergelut dengan pikirannya. Jika saat ini saja suasananya tidak kondusif dan tidak banyak yang menyetujui hubungan Lili dan Mario. Lalu bagaimana nanti hubungannya dengan Zio akan terjalin untuk selamanya?

Apakah dia harus melewati lika-liku yang dipenuhi oleh batu-batu besar? Apakah kesedihan akan selalu bersamanya? Walau ia tahu Zio tidak akan membiarkan dirinya bersedih. Akankah yang menyambutnya adalah jalanan berduri ataukah jalanan bertabur bunga Lavender yang disukainya? Satu yang terpenting, apakah hatinya sudah yakin untuk memilih Zio sebagai pelengkap hidupnya? Semua orang memiliki banyak pertanyaan dalam hidupnya tetapi tidak semua pertanyaan ada jawabannya.

Hala berjalan mendekati Lili yang tengah berbincang dengan Mario dan Zio berhenti beberapa langkah dari Hala untuk berbicara dan menguatkan Gazza.

"Tersenyumlah. Aku yakin jika sedikit saja dirimu tersenyum pasti wanita-wanita itu akan melirik mu dan berjalan mendekatimu. Beberapa dari mereka pasti mengatakan, hai tampan dekati aku." goda Zio agar Gazza tersenyum. Bahkan ia belum pernah melihat keponakannya itu benar-benar tersenyum bahagia walau mereka berada dalam satu atap.

Gazza masih tetap dengan wajah datarnya. "Untuk apa aku tersenyum? Apakah ada kebahagiaan di sini? Atau apakah ada alasan untuk aku tersenyum?" Zio tertegun mendengar pertanyaan-pertanyaan dari Gazza.

"Aku rasa ada alasan untukmu tersenyum. Ibu dan kakakmu menunggu senyuman hangat darimu, mereka berdua memang sangat rapuh hari ini. Gania pun begitu tetapi dia menyembunyikan semua kehancurannya dalam senyuman. Aku rasa dirimu pun begitu."

TIRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang