"Gimana keadaannya?"
"Masih dalam proses penyembuhan dan beberapa kejadian udah perlahan inget meski belum sepenuhnya,"
Senio menghela nafas pelan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, melepas pandangannya ke arah luar ruangan. Merasapi rasa lelahnya dan menggantinya dengan rasa bersyukur, setidaknya usahanya tidak sia-sia setelah jalan satu bulan Juni perlahan mulai kembali mengingat hal-hal kecil di masa lalunya.
"Oke, thanks infonya. Gua berharap banyak sama lo." Senio berdeham dan setelahnya terdengar sambungan terputus yang menggema di pendengarannya, lekas menjauhkan dan menaruh handphonenya di meja.
Satu bulan ia berada di kota yang telah menjadi sejarah panjang di masa lalunya, hidup dengan berbagai lika-liku untuk berkembang, memperjuangkan dan mempertahankan, menghancurkan dan meninggalkan kemudian kembali harus memperjuangkan dengan orang yang sama.
Satu bulan terasa begitu cepat ketika melihat dari perkembangan Juni, ada satu waktu di mana dia mengucapkan nama Januari setelah sebuah ingatan kecil terlintas di kepalanya dan kemudian mengucapnya dengan embel-embel "Abang". Kemudian, ketika sedang bersama dengan Senio, Juni kembali mengingat kenangan kecil tentang bagaimana kejadian nyaris celaka sekaligus pertemuan pertamanya dengan Senio berputar di kepalanya. Semua itu, Juni menjelaskannya secara langsung dengan sedikit keluhan nyeri di kepala.
Senio tidak pernah memaksa jika Juni tidak sanggup dan Senio tidak pernah mencoba untuk Juni mengutamakan mengingatnya, biarkan semuanya berjalan sesuai kemampuan seberapa kuat ingatan Juni kembali dengan perlahan.
Sempat terkejut ketika mendapati ia tidak memiliki kegiatan di sela merawat Juni, ia sedikit jenuh dan terkadang bingung harus melakukan apa, biasanya ia akan di sibukkan dengan kerjaan dan juga aktivitas produktif yang ia lakukan namun ketika sampai di Indonesia sejak sebulan lalu, Senio semakin terasa jenuh karena tidak memiliki kegiatan lain.
Pikirannya teralih ketika sebuah nada panggilan masuk kembali berbunyi dari telepon genggamnya, menatap layar tersebut dengan sedikit lekukan di dahi, Senio meraih dan mengangkat panggilannya.
"Woi! Gak pernah ngabarin ya kalo lagi di Indo,"
Terkejut dengan sapaan informal dengan seolah minimnya sopan santun dari penelepon di seberang sana, Senio berucap, "Lo siapa?"
"Ohh gitu, lo lupa sama suara gue??"
Terdiam beberapa saat, Senio menduga-duga dari suara khas di seberang sana, sedikit familiar namun terasa asing, sempat ingin menduga namun takut salah orang, Senio mengangguk.
"Gue lupa,"
"Gue Quita, masih lupa??"
Setelah menyadari, Senio tertawa, sedikit kencang kemudian terkekeh di akhir, "Sorry, sorry gue lupa, beneran lupa,"
"Iya yang udah jadi budak korporat, makin gede makin cepet kolot," terdengar kekehan di seberang sana dengan suara bising yang sedikit mendominasi.
"Apa kabar?"
"Gue baik, lumayan untuk kehidupan gue yang sekarang,"
"Lo di mana?" beberapa detik tidak menjawab, setelahnya terdengar suara orang lain yang terdengar begitu dekat.
"Gue di Ubud, gue tau kabar lo di Indo tau dari Boy dan dia ceritain kalo lo.. khem.. sedang berjuang dengan cinta lamanya,"
Senio tertawa lepas kali ini, yang di seberang sana juga ikut tertawa begitu menyadari maksudnya. Memang terlihat ketara alasan Senio kembali ke Indonesia selain dan untuk sebuah perjuangan, tidak ada alasan lagi untuk Senio kembali ke Indonesia meskipun ibu kandungnya masih berada di kota yang sama seperti dulu, tapi Senio tidak sama sekali ingin kembali karena mengingat ia memiliki begitu banyak kenangan buruk di sana.
![](https://img.wattpad.com/cover/179459567-288-k741312.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior 2 (Senior Series 2)
Teen Fiction[COMPLETE] Tidak ada yang akan pernah berakhir dalam sebuah kehidupan. Cerita tentang bagaimana kedua orang yang telah memisahkan diri namun kembali dipertemukan dalam keadaan yang telah berubah dengan takdir yang masih terus mengikuti mereka. Sen...