3.11

1K 87 3
                                    

Sore harinya Te dan Nyuwi pergi ke rumah menemui Mamah Wira. Mamah marah melihat Te datang dengan wajah tenang setelah yang ia lakukan pada acara pernikahan. Luapan emosi memuncak oleh kehadiran Nyuwi.

"Kamu ngapain bawa dia kemari?! Masuk!" Mamah tarik Te ke dalam rumah sedangkan menyuruh Nyuwi diam.

"Jangan berani deketin Te lagi"

Te menepis tangan Mamah. "Aku sengaja bawa Hin ke sini" katanya lalu mengambil tangan Nyuwi dan mengangkatnya ke udara.

Cincin di jari manis tampak serasi dan berkilau. Tidak mungkin Mamah tidak melihatnya. Mamah hanya bisa melipat tangan di dada dan menghela napas sebagai respon.

"Kamu tau seberapa malunya Mamah kemarin? Di depan para tamu, mereka mencaci Mamah"

"Aku kan udah nolak dari awal. Kenapa Mamah masih lanjutin?!"

Te lupa janjinya untuk tidak berbicara dengan nada tinggi. Serangan itu membuat rasa amarahnya tidak mau pergi. Apalagi yang akan mereka lontarkan?

"Puas kamu sekarang?!" Mamah berpaling ke orang di belakang Te alias Nyuwi.

"Saya percayain buat bantu Te dengan Jane, malah jadi biangnya"

"Mah.." potong Te masih dengan suara lembut.

"Gak ingat siapa yang dulu nolongin Bundamu? Ini caramu berterima kasih?!"

"Mamah!" kesabaran Te meluap lewat teriakannya. "Mamah boleh marah asalkan ke aku. Jangan ke yang lain"

PLAK!

Tingkat amarah wanita paruh baya itu telah sampai pada puncaknya. Pepatah bilang marah paling menyeramkan itu ketika lawan kita hanya diam. Menatap penuh kecewa seperti yang dilakukan Mamah saat ini.

"Mah.." Te coba membujuk.

"Kalo kamu laki-laki, tanggung jawab sama yang kamu lakuin. Besok Mamah tunggu jawabannya. Dia atau Mamah"

Pertanyaan macam apa yang berisi dua pilihan sama pentingnya? Tidak masuk akal. Mamah main pergi gitu saja. Seakan tidak ada pengecualian, besok Te harus sudah punya pilihan.

.

Nyuwi memandangi bekas merah di pipi. Pasti rasanya perih sampai tidak hilang meski sudah 15 menit mereka pergi dari rumah. Selepas Te menyuruhnya ke mobil, tidak ada lagi percakapan. Te menyetir sampai di toko es krim.

"Masih sakit?" tanya Nyuwi seraya menempelkan gelas es krimnya ke pipi Te.

Pria yang melamum tadi malah diam saja. Memandangi Nyuwi habis itu lanjut menyendok es krim.

"Kamu kenapa gak dengerin aku" ini sebuah keluhan bukan pertanyaan.

"Mamah kelewatan ngomongnya, Hin"

"Tapi kan gak baik juga ngebentak"

Te meletakkan es krim miliknya di meja. Kemudian mengucap wajah dengan kedua tangan layaknya habis berdoa. Bedanya penuh penyesalan.

Mereka kelihatan putus asa bersama dengan es krim yang mulai mencair. Harapan lama-lama pudar seiring berpikir jalan keluar. Menyerah jadi pilihan terakhir sebelum Mbak Muk menelpon.

"Dimana?" Mbak Muk bertanya. Suaranya tergolong berat untuk kalangan wanita.

"Pop Cone"

"Astaga! Lagi kayak gini sempet makan es krim"

"Dinginin kepala, Mbak"

Cuma Te yang bisa dengar cerocosan Mbak Muk. Karena mode speaker tidak ia nyalakan.

Trilogy of Us | TayNew ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang