"Asyik! Dapet baju barong!" Teriak anak perempuan itu yang cukup memekakan telinga.
"Ih! Berisik banget Mesi!" Balas yang satunya.Ya. Keempat anak perempuan tersebut sudah berkumpul. Audi sudah pulang dari Bali sejak dua hari yang lalu, tak lupa buah tangan ia bawakan untuk teman-temannya di Jakarta.
"Lo ke Bali cuma mau ketemu kakak lo yang pertama itu, Di? Teh siapa namanya? Lupa gue."
"Teh Aura, Bel."
"Nah, itu, Teh Aura."
"Gue terakhir ketemu dia tiga tahun yang lalu sebelum dia berangkat kuliah, makanya libur kemarin mau ketemu dia sekalian main ke Bali, sama liat-liat kampus dia, sih."
"Lah, lo jadinya mau kuliah di mana, sih?"Audi diam tak bergeming. Pertanyaan itu masih sama, tapi apakah jawaban yang ia lontarkan masih sama pula?
"Belum tahu, Mes."
Mesi berdecak kesal. Audi memang orang yang tepat jika sedang menasihati Ey, tapi sebenarnya mereka berdua tidak jauh berbeda.
"Kalian, kuliah di kampung halaman masing-masing?"
Mendadak hening. Sebelumnya, Ey lebih senang memilih untuk mendengarkan atau pun menyimak saja percakapan teman-temannya. Namun, ketika teman-temannya membahas masalah lepas dari sekolah nanti, rasanya ia ingin ikut terlibat dalam percakapan tersebut.
"Kan mulai lagi anak ini!" Ketus Mesi, "lo sendiri? Masih stuck dipilihan nggak tahu?"
"Mesi.." balas Audi dan Bella kompak.Ey diam membungkam. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya mereka membahas akan kemana selanjutnya. Akan tetapi, ini kesekian kalinya setiap ditanya, Ey selalu menjawab tidak tahu.
Dirinya sendiri pun tidak mengerti. Apakah ada yang salah dengan dirinya? Ia selalu kebingungan. Sulit sekali rasanya lantang dan berani atas pilihan sendiri. Ia masih sama, ia masih menjadi pengecut dan penakut.
"Nggak ada yang mau tetap di Jakarta aja?"
"Nggak." Kompak ketiga gadis tersebut.
"Ah, keroyokan." Decak sebal Ey.Masing-masing gadis itu menghela napas panjang. Ey masih sama. Entah apa yang gadis itu pikirkan, ketiga gadis itu selalu penasaran apa saja isi kepalanya, perkara memilih kaki akan melangkah selanjutnya rasanya sangat lah sulit baginya.
"Ey, lo tahu sendiri, kan? Terakhir kali gue ke Sulawesi waktu gue umur enam tahun. Ngelanjutin pendidikan di sana jadi kesempatan buat gue supaya bisa tinggal selama beberapa tahun ke depan. Sekalian bisa ketemu nenek setiap hari."
"I know, Mes."
"Bella juga, Ey. Jogja sudah mendarah daging sama dia. Lo lupa apa yang buat dia jadi tinggal di Jakarta? Audi, dia cuma masih bimbang, Bali, atau Bandung. Lo tahu itu kan, Ey?"Ey membungkam kembali. Dan setiap perkataan yang bersarang di kepalanya masih sama dan selalu sama, 'kenapa harus sangat jauh jaraknya dari Jakarta?'
"Lo punya hak dan selalu begitu."
"Ey.." ucap lembut Audi.
"I'm afraid." Jeda Ey, "gue nggak pernah yakin bisa punya teman lagi, justru sendiri yang malah jadi teman lagi."Ketiga temannya yang justru kini membungkam. Tidak ingin memotong pembicaraan Ey terlebih dahulu. Sangat jarang sekali, atau bahkan bisa dibilang ini adalah momen langka, di mana Ey akhirnya mau mengakui sedikit demi sedikit tentang perasaannya.
"Bertahun-tahun hidup dalam persembunyian. Tapi ternyata anak perempuan ini berhasil buat teman-temannya bertahan, kan?"
"Ey.." balas Bella lembut.Mesi yang mendengar kalimat yang cukup singkat, akan tetapi mewakili segenap perasaan Ey, mendadak terenyuh seketika. Ia langsung menghamburkan peluk dan menumpahkan rasa harunya. Audi dan Bella tersenyum manis melihat kejadian tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...