Daffa memasuki rumahnya dengan langkah yang sedikit berat. Bukan karena tugas penyebabnya, apalagi karena aktivitasnya di sekolah. Tidak, sama sekali tidak. Mengikuti organisasi saja tidak, tugas pun ia selalu mengerjakan. Ya, beberapa sifatnya cukup mirip dengan Ey.
Pelan-pelan waktu membuatnya tumbuh menjadi sosok yang baru. Daffa yang dulu jauh berbeda dari sekarang. Dikelilingi orang yang selalu membuatnya senang dan dapat tersenyum lepas.
Kala itu, ia masih duduk di bangku kelas dua SMP, pelajaran matematika sedang berlangsung. Namun ditengah pelajaran, ada satu orang yang ia kenal menemui guru yang sedang mengajar, meminta izin untuk membicarakan suatu Hal yang terlihat cukup penting.
Anak-anak didalam kelas juga terlihat penasaran, apa ada tentang suatu hal? Daffa meyakinkan diri kalau orang yang menemui gurunya ialah tetangganya. Ada apa?
Guru yang mengajar memanggil dirinya, memintanya untuk berkemas dan bergegas pulang. Rasa penasaran makin menjadi, segala hal pertanyaan didalam isi kepalanya semakin berisik. Ada apa sebenarnya?
Daffa dan tetangganya tersebut pulang dengan motor yang dibawa oleh tetangganya. Selama diperjalanan, Daffa agak segan bertanya dengan tetangganya tersebut. Ia selalu mengurungkan niatnya untuk menanyakan hal apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Akhirnya mereka berdua sampai dihalaman rumah Daffa. Lemas rasanya, aliran darah seperti sudah berhenti berdesir detik itu juga. Pelan-pelan ia berusaha untuk turun dari motor.
Jatuh. Ia benar-benar lemas. Kakinya terasa tak kuat untuk membantu menopang badannya. Kepalanya ingin meledak rasanya saat ini. Matanya menatap kosong kedalam rumah. Air matanya mengalir.
Sebuah kertas, berwarna kuning. Bertengger didepan rumahnya. Berusaha ia menguatkan diri dan dibantu tetangganya yang lain untuk masuk kedalam rumah.
Daniel, adiknya, yang saat itu masih terlalu kecil untuk ditinggal dua manusia paling berharga dimuka bumi hanya menangis sambil memeluk tak mau lepas. Pelan-pelan ia duduk disamping sang adik dan mengelus kepalanya halus.
Daniel yang saat itu sama hancurnya langsung memeluk Daffa dan menangis sejadi-jadinya. Daffa masih diam terpaku dan menatap kedua manusia hebat itu sudah pergi lebih dulu.
Beri, tulang punggung keluarga yang ia lihat hanya seorang yang sudah terbujur kaku. Bukan lagi seperti kemarin, dengan postur tubuh yang tegap dan suara yang tegas. Kini hanya tubuh yang sudah tidak berdaya.
Lebih-lebih ibunya, sang mahkota dalam keluarga. Satu-satunya wanita yang ada pada keluarganya, satu-satunya wanita kesayangan para lelaki yang ada dirumah tersebut. Dunianya hancur dan lebur.
Bahkan beberapa hari semenjak kematian kedua orang tuanya, beberapa rekan bisnis ayahnya datang kerumah. Yang awalnya ia kira rekan-rekan ayahnya akan datang memberinya semangat dan turut berbelasungkawa, hilang sudah pandangan tersebut. Mereka datang hanya menagih janji-janji ayahnya saat menjadi rekan dan menganggap semua itu adalah hutang yang harus segera dilunaskan.
Dirinya bisa apa selain pasrah menyerahkan? Terlebih ia yang tidak mengerti apa-apa tentang bisnis ayahnya. Entah kerjasama apa yang dibicarakan antar ayahnya dan rekannya yang berhasil membuat peninggalan ayahnya tersapu habis, hanya menyisakan beberapa yang ia miliki sekarang.
Paviliun kecil yang cukup untuk ia tinggal bersama dengan adiknya serta beberapa harta yang tersisa untuk biaya sekolah ia dan adiknya yang dititipkan ke pamannya.
Dan sekarang, saat ini. Ia sedang merebahkan diri di kasur sambil terus memandangi langit-langit kamarnya. Kemudian beralih menatap kertas-kertas yang cukup lusuh bertumpuk di meja belajarnya. Ia tersenyum sekilas, lalu bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju meja belajarnya. Mengambil semua tumpukan kertas dan membawanya ke atas tempat tidur.
Ia meraih tasnya, lalu mengambil kertas yang tadi ia temui, koleksinya bertambah. Ia benar-benar sangat niat mengumpulkan tulisan-tulisan tersebut. Hobinya bertambah dan itu salah satunya.
Tunggu waktu yang tepat. Akan kubuatkan sebuah tumpukan kertas bersampul, agar tulisan-tulisanmu bukan hanya aku yang menikmati, tapi mereka yang membaca dan merasa sepertimu. Kata Daffa bertekad dalam hati.
🍃🍃🍃
Ectya sudah di depan rumahnya. Menatap pintu berwarna coklat dengan tatapan seperti biasanya. Lelah. Ia menggenggam gagang pintu dan masuk ke dalam rumahnya. Kosong. Satu kata yang menggambarkan semuanya. Walau ada bibi yang selalu membantu ia dan Maya untuk urusan rumah. Rasanya selalu kosong saja. Sang mama, Maya, masih setia di kantor dengan berbagai kesibukan yang menyitanya.
Ia menginjakkan kaki memasuki rumah tersebut dan berjalan ke arah tangga yang menuju kamarnya. Menaiki tangga satu persatu dan langsung masuk ke dalam kamar yang bernuansa abu-abu tersebut. Entahlah, saat ia menginjak umur sepuluh tahun ia meminta Maya untuk mengubah nuansa kamarnya dari merah muda, ke abu-abu. Karena baginya, warna tersebut cukup mendeskripsikan hidupnya.
"Non, masakan sudah jadi.." sedikit teriak dari arah bawah, Bi Yaya yang selalu menjadi pengingat ia dan Maya untuk makan.
Tak ada jawaban. Dan itu sudah biasa menurut seisi rumah tersebut yang hanya berisikan empat orang tersebut. Dirinya, Maya, Bi Yaya, dan Pak Darma, perawat kebun halaman rumah.
Ia mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian rumahnya. Mengeluarkan buku kecil favoritnya, dan menuliskan lagi. Menumpuk semua rasa pada buku tersebut.
Dunianya melayang kelabu.
Semuanya, semuanya sudah berdebu.
Naluri bahagianya habis tersapu.
Sekeliling hanya bisa menipu,
Mengatakan semua akan baik dan kembali berwarna biru.
Tapi sampai saat ini ditunggu,
Semuanya masih setia berwarna abu.Si perindu.
Meletakannya dan bergegas menuruni anak tangga. Perutnya butuh asupan. Ia mengambil botol air dari dalam kulkas dan meminumnya setengah. Lalu bergegas makan.
"Tadi ibu nitip pesan sama bibi, katanya ibu pulang telat." Kata Bi Yaya berusaha memecah keheningan.
"Sudah biasa pulang telat, kan? Pakai acara titip pesan segala,"
Baginya, rumah bukan tempat untuk pulang dan mengistirahatkan tenaga yang sudah terkuras. Entah sampai kapan akan seperti ini. Tahun-tahun ia lewati belum ada tanda-tanda kalau pulang akan membawakan kedamaian baginya. Entah juga akan sampai kapan ia berusaha mencari tempat ternyaman untuk bersandar dan menenangkan pikiran.
"Ectya naik, Bi." Katanya sambil bangkit dari kursi dan menaiki anak tancca kamarnya kembali.
Bi Yaya hanya bisa menatap punggung yang rapuh tersebut. Ia tahu apa yang terjadi dan sedang dihadapi putri dari majikannya tersebut. Tapi ia tidak tahu harus memulai darimana untuk membantunya menemukan jalan keluar baginya.
🍃🍃🍃
Salam,
Pinggir laut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Ficção AdolescenteBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...