25. Rasa

26 2 0
                                    

"Sudah hapal, kan?"

Ey mengangkat kepalanya. Lalu mengangguk mengiyakan. Lusa sudah mulai memasuki hari pertama pensi. Semua benar-benar sudah siap. Siswa ataupun siswi yang membawa kendaraan saat sekolah pun sudah tidak diijinkan memakirkan kendaraannya di parkiran seperti biasa. Karena sudah dikosongkan demi kelancaran acara nanti.

Tiga hari waktu yang cukup untuk dirinya berlatih. Karena berhubung hanya dirinya dan Anjali yang bernyanyi solo, jadi Ey lebih fokus latihan bersama dengannya. Ia belajar banyak dengan gadis itu, ternyata ia adik kelasnya. Selain biasa bernyanyi di gereja, ia juga biasa mengikuti lomba bernyanyi.

Ey perlahan sadar, tidak buruk membuka diri sedikit. Benar kata Daffa, ia memang yang terlalu sering memukul rata semua sama. Nyatanya sekarang, ia mendapat ilmu lain dari orang lain. Anjali tidak begitu buruk dimatanya. Sedikit menyesal pernah menyamaratakan semua sama, tapi nyatanya, ada seorang gadis hitam manis dan sangat sopan. Ia tidak pelit dengan ilmu juga. Anjali Rihanna contohnya.

"Kak, lusa kakak mau datang?"
Ey menoleh, "harus dong, mau lihat guru menyanyiku diatas panggung!"
"Ah, bisa aja. Tapi nanti aku titip foto lagi di panggung ya, Kak."
Ey membalas dengan senyuman.

Sejak ia ikut gladi dengan Audi, ia jadi terlibat sibuk seperti temannya itu. Pergi ke sekolah tapi tidak menginjakkan kaki ke kelas. Langsung menuju ruang kesenian yang sudah dipinjam anak OSIS untuk digunakan gladi.

Ia juga melihat Audi yang sangat sibuk mondar-mandir mengurus yang diperlukan lagi. Padahal menurutnya semua sudah siap, sudah rampung semua, apalagi yang membuatnya jadi sangat sibuk seperti itu? Ah, ia lupa, dirinya tidak pernah mengikuti organisasi, tidak tahu apa-apa yang harus diperhatikan lagi walaupun semua sudah terlihat siap.

"Kakak nanti pakai baju apa ke sekolah?"

Anjali masih duduk setia disampingnya.

"Seragam?"
"Tapi, kan, kita nggak gabung sama anak kelas kita, Kak?"
"Memang kenapa kalau pakai seragam?"
"Kita bukan masuk ke panitia, ya?" Tanya Anjali sambil menggaruk tengkuknya. Ey dapat menebaknya, Anjali tidak begitu suka jika nanti akan memakai seragam.

"Nanti coba kita tanya sama Audi atau Rega aja, ya? Kakak mau ambil minum, kamu mau?"
"Nggak kak, aku bawa, makasih."

Ey bangkit meninggalkan Anjali, berjalan menuju meja yang tersedia diruangan tersebut. Diatas meja, sudah tersaji satu dus air minum dan beberapa makanan ringan. Sepertinya, dana yang ada benar-benar banyak.

Hari ini, tepat seminggu ia memutus kontak dengan Januar. Januar juga sudah jarang menghubunginya lagi. Ia tidak peduli, malas saja semenjak kejadian tersebut. Maya juga sudah ia ceritakan, hanya dibalas senyuman dengan mamanya. Ia juga belum sempat menceritakan siapa Januar ke Daffa. Padahal sudah cukup lama Januar ada disekitarnya, tapi jika sudah bersama Daffa, malas saja membicarakan orang lain diantara mereka berdua.

Di ruang kesenian ternyata cukup ramai, walaupun hanya didominasi siswa siswi yang akan menampilkan bakat saja, tapi ia tidak begitu akrab dengannya. Hanya Anjali saja yang jadi dekat dengannya, itupun karena mendapatkan porsi yang sama nantinya.

Ia mengambil botol minum yang ada lalu mencari tempat duduk yang nyaman baginya. Meluruskan kaki dan menyender dengan tas yang ada disitu. Entah tas siapa, ini sudah menjadi hal lumrah bagi siswa ataupun siswi yang ada disini.

Jika boleh jujur, ia sedikit letih dengan latihan yang terus ia ikuti. Mencoba untuk memejamkan mata, merasakan dinginnya ruangan karena AC yang ada. Ruangan ini tidak begitu besar, tapi cukup tertata dengan rapih. Dengan beberapa lemari yang sepertinya berisikan baju-baju yang diperlukan untuk menari atau penampilan bakat lainnya. Ada juga beberapa piala yang terpajang, serta foto-foto anak kesenian yang dipajang juga lengkap menghiasi.

Beberapa menit ia terpejam, ia merasakan tangannya digoyangkan oleh seseorang. Dengan malas ia membuka matanya, didapatinya ternyata Anjali, lagi.

Tadi sepeninggalnya mengambil air, Anjali sudah tidak ada ditempat. Pikirnya, mungkin ia sedang keluar untuk melihat lapangan yang benar-benar sudah rampung.

"Kenapa, An?"
"Kakak tahu dresscode nanti tampil?"
"Belum,"

Sebenarnya Ey bisa saja marah. Dan memang sebenarnya ia harus marah. Tapi melihat wajah Anjali yang seperti anak polos membuatnya sedikit segan untuk bertindak seperti Ey yang biasanya. Lagipula, ia juga masih ingat dan sadar diri bagaimana cara Anjali membantunya melatih vokal tanpa pelit ilmu.

"Anjali, kakak mau istirahat sebentar, ya?" Kata Ey dengan hati-hati, biasanya ia tidak peduli akan ucapannya. Namun untuk kali ini, karena ia juga yang sudah memilih untuk mencoba membuka diri, ia harus lebih banyak hati-hati bahkan dengan ucapannya sendiri.

Anjali mengangguk mengiyakan. Ia pun bangkit dari duduknya lalu menghampiri anak kelas lain yang duduk tak jauh dari Ey.

Ey mengatur posisi duduknya lagi. Bisa saja sebenarnya ia sambil rebahan, tapi ia tidak bisa karena mengingat akan memakan banyak tempat. Lagipula tidak enak juga jika nanti dilihat anak OSIS, dispensasi hanya untuk tidur.

Setengah jam Ey terlelap. Ia bangun dari tidurnya dan melihat sekitarnya yang sepi. Mungkin mereka sedang berlatih, mengingat hanya dirinya dan Anjali saja yang membawakan lagu vokal solo. Ey bangkit dari duduknya dan keluar dari ruang kesenian. Menuju ke pinggir lapangan dan benar saja, anak-anak itu sedang berlatih diatas panggung.

"Sudah bangun?"
Ey menoleh, "kok tahu aku tidur?"
"Aku tadi ke ruang kesenian buat ngasih tahu untuk gladi,"
"Maaf ya,"
"Gapapa, pasti kamu capek."
"Kamu apa nggak capek, Di?"

"Risiko aku kan, Ey?" Jeda Audi, "Ayo kesana, nanti mereka selesai biar disambung sama kamu,"

Ey tersenyum mendengarnya. Audi benar-benar sudah dapat menguasasi dan mengontrol dirinya sendiri dengan baik. Ia harus banyak belajar darinya.

"Lho, Anjali?"
"Rega sama aku sudah percaya sama dia,"
"Sama aku nggak?"
"Tinggal diri kamu sendiri yang yakinin kemampuan kamu sendiri,"

Audi menarik tangan Ey dan membawanya ke depan panggung untuk melihat lebih jelas. Tak lama lepas dari mereka selesai, Ey yang sudah paham lalu menaiki tangga dan mengambil mic yang tersedia. Ia mengambil napas dan merilekskan sejenak pikirannya. Ia harus bisa mengontrol emosi yang ada, apalagi ia sudah privat dengan Anjali. Merasa tidak enak jika ada sedikit cacat.

Pikirannya melayang, membayangkan wajah ibunya yang sudah meninggalkannya. Sedikit sesak yang terasa, untungnya, karena ia sudah dapat mengatur napasnya lebih baik lagi. Banyak rasa kesal dengan Rega kenapa harus lagu ini yang ia bawakan, tapi ia juga tidak bisa menolaknya.

Tapi perihal air mata, ia tak kuat untuk membendungnya. Anjali juga berpesan, jika ia menangis saat bernyanyi, tidak apa. Selagi masih bisa mengatur napas dan menjaga suara dengan baik, lepaskan saja. Karena jika ditahan, takut akan merasa tercekat di tenggorokan dan berpengaruh dengan suara yang dihasilkan.

Entah ini sudah keberapa kalinya ia mendengar serta menyanyikan lagu ini dan ia masih saja tetap lemah. Sedikit meredakan kerinduannya, namun tak sedikit pula membuatnya benar-benar merasa runtuh pertahanan.

Maya memang tidak sama dengan Sukma dan jelas-jelas berbeda. Tapi yang ia tahu, mereka berdua ialah ibunya, bagaimanapun mereka ibunya. Bukan Sukma saja ataupun Maya saja.

Tapi tetap saja, rasa berkecamuk yang ia dapatkan dan selalu rasakan.

🍃🍃🍃

Salam,

Pinggir laut.

KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang