Saat ini, Ey sedang berada di barisan belakang. Maya sudah kembali menuju kantor. Audi juga sudah ikut berkumpul dengan anak OSIS lainnya. Sedangkan Anjali, Mesi, dan Bella, kini mereka bertiga justru menjadi kompak. Selepas kepergian Maya, mereka bertiga langsung berhambur dengan kerumunan yang ada, mereka menuju barisan tengah.
Sebenarnya menonton acara dan dipenuhi dengan banyak orang seperti ini bukan Ey ataupun Daffa sekali. Tapi kalau dua anak manusia itu sedang bersamanya, rasanya semua baik-baik saja. Makanya saat ini senyumnya masih mengembang, sesekali saling melirik satu sama lain.
Namun, ada faktor lain yang membuat senyum Ey semakin terus merekah. Saat ia ingin tampil, jaket miliknya ia tinggal di ruang kesenian. Kalau boleh jujur, ia merasa tidak nyaman dengan pakaiannya saat ini. Akan tetapi, Daffa membawakannya jaket milik laki-laki itu, memang tidak senada dengan warna dress miliknya. Tapi, itu yang membuat senyumnya setia merekah.
"Padahal, kan. Cukup jaket milikku saja, Daf."
"Memang kenapa jaketku?"
"Nggak kenapa-kenapa, cuma kamu jadi repot membawakan jaket juga."
"Kalau direpotkan sama kamu, aku senang."Ey tersenyum mendengarnya. Terdengar hangat dan menenangkan. Daffa selalu begitu. Membuatnya selalu berhasil untuk merasa kalau dunia tidak seburuk apa yang ia pikirkan.
"Wangi jaketnya beda,"
Daffa menoleh, ia tersenyum sekilas. Tapi dimata Ey cukup jelas.
"Memang wangiku biasanya seperti apa?"
Ey tersentak. Ia menyesal mengomentari perihal wangi jaket. Kan Daffa jadi tahu, selain senang berada dibelakang jok motor dengannya, ia juga senang menghirup wangi pakaiannya.
"Ya.. biasanya nggak gini.."
"Nggak gini tuh gimana sih maksudnya?"
"Ini wanginya beda,"
"Beda gimana sih maksudmu? Kok kamu jadi tahu wangi biasaku?"
"Ih! Kamu mencoba menggodaku ya?" Kesal Ey, bibirnya mengerucut lalu memukul lengan Daffa geram.Sedangkan Daffa, ia hanya tertawa gemas. Ingin mengacak surai pirang tersebut, tapi nanti jadi berantakan, mengingat rambut gadis itu sedikit dibentuk dan ada beberapa hiasan di kepalanya.
Jadilah ia menggenggam tangan Ey. Tersenyum ke arahnya dan menikmati acara yang ada. Sebenarnya, pensi ini cukup menyenangkan. Dua hari kemarin ia mencoba untuk menikmati acara. Tidak rusuh seperti apa yang ia bayangkan ternyata.
Ia menarik tangan putih pucat tersebut dan membawanya ke taman belakang. Ey yang disampingnya hanya tersenyum saja. Dipikirannya, takaran manusia sepertinya dan Daffa tidak cocok berada ditempat seperti itu. Tapi setiap mengatakan hal itu, Daffa selalu mengelak dan mengatakan bahwa belum cocok saja, bukan tidak cocok.
Daffa selalu mengatakan, tidak semua acara musik selalu didominasi oleh hal yang ramai dan padat. Ada juga acara musik yang memang ramai, namun disana tenang saja rasanya. Mungkin faktor utamanya karena manusia-manusia yang sama dan saling sefrekuensi.
Tapi perkataan Daffa yang satu itu tidak dapat ia terima sepenuhnya, karena yang ia tahu, Daffa belum pernah ke acara musik sebelumnya. Jadi bisa saja itu hanya asumsinya untuk menenangkan ataupun menyenangkannya.
"Mas pemilik nadi,"
Daffa menoleh, ia sebenarnya bingung dengan panggilan seperti itu. Terasa sangat asing baginya, namun tak lama kemudian, ia tertawa.
"Nggak kepanjangan? Kamu, kan, nggak suka hal yang rumit, padahal kamu sendiri rumit."
"Dengerin aku dulu!"
"Memangnya daritadi aku diemin kamu?"
"Bisa diam nggak?"
"Iya,"
"Iya apa?"
"Iya, nggak bisa diam."Ey menatap tajam ke arah Daffa. Dan kalau sudah seperti ini, Daffa hapal. Kesal Ey sudah berada di puncak.
"Ada apa, nadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...