Kerumunan sekolah masih berlangsung. Semua siswa siswi yang ada terpecah belah saat sudah keluar dari kelas. Banyak pula yang menuju ke parkiran sekolah. Samar-samar terlihat perempuan kesukaannya, untuk saat ini. Warna rambut yang dimiliki faktor utamanya. Daffa memperhatikan dengan seksama. Ectya. Namun, ia sedang berbicara dengan siapa, ia tidak tahu pasti.
Seperti tidak asing baginya. Ia pernah bertemu dengannya. Alisnya berkerut, matanya sedikit menutup untuk melihat jeli siapa laki-laki yang sedang bersama Ey.
Ia memejamkan matanya. Sepertinya ia kenal dengan laki-laki itu. Pernah ia temui. Januar Mahesa. Ia langsung membuka matanya kala nama itu terlintas dipikirannya. Benar, laki-laki itu pernah ia temui. Lebih tepatnya, tak sengaja bertemu.
Dilihatnya Ey pergi meninggalkan Januar. Dan yang ia syukurkan ialah, Ey menggunakan helmnya. Cocok dikepalanya, walau tak dapat dipungkiri wajahnya berkali lipat lebih galak dari biasanya. Tidak apa, justru ia malah terlihat lebih menggemaskan dengan raut wajah seperti itu.
Daffa melangkahkan kaki menuju gerbang sekolah, pulang ke paviliun untuk menyiapkan masakan. Semenjak ditinggal kedua orangtuanya, Daffa lebih senang langsung pulang untuk memasak atau merapikan beberapa barang yang ada.
Daffa melirik sekilas ke arah parkiran. Turut lega ketika Januar juga sudah menuju motornya yang berjarak cukup jauh dari parkiran motor Ey tadi. Entah apa yang sedang diinginkan laki-laki asing tersebut. Yang ia tahu, Ey memang cukup dikenal juga di sekolah, itu pun karena ia yang memiliki rambut yang pirang dan seorang anak blasteran. Selebihnya, mengenal ia hanya sebagai anak yang pendiam dan dingin.
Isi kepalanya masih memikirkan kejadian yang baru saja ia lihat. Sungguh, ia benar-benar ingin tahu ada apa Januar dengan Ey. Memang ia akui, paras Ey memang cantik, bahkan baginya sangat cantik. Tak banyak pula laki-laki di sekolah ini sesekali ingin mencoba mendekatinya, namun selalu ia tepis dan mau tahu akan hadir siapapun manusia yang baru.
Bukan ia besar kepala karena Ey menjadi bagian dari dirinya. Tapi, ia hanya ingin apa yang sedang dirasakan oleh gadis itu tidak berpengaruh pada dirinya.
Sudah cukup ia menjadi saksi bagaimana berjuangnya ia habis-habisan untuk dapat memendam segala hal yang ia simpan rapat. Ey memang sama sekali tidak pernah menceritakan padanya tentang apa yang ia simpan. Namun, mendengar keluh kesahnya, ia pelan-pelan belajar dan paham. Ia lelah.
🍃🍃🍃
Ectya buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Menaruh tas sembarang dan merebahkan diri ke kasur. Pikirannya melayang dengan sosok yang baru saja ia temui saat pulang sekolah. Siapa Januar itu? Senior yang menyebalkan itu? Benar. Januar salah satu anak kelas dua belas. Tadi ia sempat melihat dasi yang dipakai olehnya. Di sekolah Ey, atribut sekolah seperti dasi, menandakan tingkatan kelas. Dan kelas dua belas dengan dasi garis tiga
Nada dering ponselnya berbunyi. Memaksanya menarik diri dan mengambil tasnya yang ia letakkan asal. Mengambil ponsel dan mengangkat panggilan tersebut.
Dilihatnya nama panggilan tersebut. Dari Maya. Ia membuang napas kasar. Entahlah, rasanya benar-benar tidak beraturan jika sudah bersangkutan dengan Maya. Ia benar-benar tidak tahu akan sampai berapa lama lagi keadaan akan seperti ini terus. Namun, ia juga tidak tahu harus bagaimana mengatasinya.
"Kenapa ma?"
...
"Oh,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita
Teen FictionBukan kisah Romeo atau Juliet, lagipula, bukan kisah seperti itu yang diinginkannya. Mencoba dan belajar untuk menjadi gadis yang normal dan sebisanya mungkin, walau rasanya sangat tidak mungkin. Masing-masing diri yang selalu berusaha menjadi kita...